sumber: kisahmuslim.com |
Latar
Belakang
Perjalanan
sejarah perkembangan Islam mulai menemukan momentum manisnya saat hijrah ke
Madinah. Dari kota ini nabi Muhammad didampingi oleh para shabatnya, baik dari
golongan Anshar atau Muhajirin, melakukan gerakan-gerakan dakwah islamiyah
sehingga agama Islam dapat menyebar ke seluruh jazirah Arab, bahkan diluar itu.
Dan semakin menemukan titik terangnya pada saat Dinasti Abbasiyah yang telah
berhasil meluaskan Islam sampai ke daratan eropa dan Afrika.
Terlepas
dari segala pro dan kontra, system kepemimpinan Islam dalam bentuk dinasti
telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan Islam. Dalam
dinasti Abbasiyah misalnya, gerakan Islam yang dilakukan oleh para kholifah
dari dinasti tersebut, telah mampu menyebarkan Islam ke berbagai daerah dan
juga bisa menciptakan iklim peradaban yang luar biasa maju karena didukung oleh
berbagai ilmu pegetahuan yang diadopsi dari Negara-negara taklukan.
Akan
tetapi, kemajuan yang telah dicapai bukan berarti satu-satunya term poritif
yang digapai oleh para penyelenggara system dinasti. Dibalik itu semua juga
terdapat berbagai masalah yang cukup merisaukan umat Islam, seperti perebutan
kekuasaan yang terjadi dikalangan keluarga istana, yang umumnya melibatkan
putera mahkota dan anggota terdekat keluarga lainnya.
Dalam
hal ini, Dinasti al-Ayyubiyah juga memiliki sumbangan yang tidak sedikit dalam
upaya menyebarkan agama Islam dan sekaligus mempertahankannya dari
serangan-serangan musuh, yang pada masa dinasti ini, mendapatkan tantangan
serius dari para tentara Salib yang dimotori oleh Negara-negara Barat seperti
Prancis dan Itali. Sehingga upaya yang dilakukan oleh Diasti al-Ayyubiyah,
terutama dalam masa kepemimpinan Shalahuddin al-Ayyubi, lebih banyak pada
pemmadaman pemberontakan yang datang dari luar, atau dari dalam demi
terciptanya Negara Islam yang aman dan sejahtera.
Munculnya
Dinasti al-Ayyubiyah dalam sejarah perkembangan Islam semakin memperkaya
khazanah peradaban Islam yang telah memberikan sumbangsih besar terhadap
keberadaan Islam itu sendiri. Meskipun munculnya Dinasti al-Ayyubiyah hanya
mampu bertahan dalam usia yang sangat singkat, tetapi telah mampu menorehkan
sejarah yang berguna bagi perkembangan
Islam selanjutnya.
Dinasti
yang didirikan oleh Shalahuddin al-Ayyubi ini telah merintis jalan-jalan unik
yang penuh dengan dinamika yang warna-warni. Danati ini dihadapkan langsung
pada tentara Salib yang begitu membenci Islam dan segala yang berafiliasi
dengannya.
Pembentukan Dinasti
al-Ayyubiyah
Al-Ayyubiyah
adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Mesir, Suriyah, Byiarbark dan Yaman.
Berdirinya daulah al-Ayyubiyah ini memiliki kaitan erat dengan kekuasaan
Imamuddin Zangi, seorang atabeg (panglima) Tutusy, penguasa Dinastu Saljuk di
Aleppo (Halab). Setelah Tutusy meninggal, Imamuddin Zangi diangkat sebagai
penguasa Aleppo, Mesul, Aljazirah dan Harran, selama kurang lebih sepuluh tahun
(512 H / 1118 M sampai 522 H / 1128 M) (Syalabi: 2003).
Dalam
catatan sejarah, Imamuddin dikenal sebagai salah seorang panglima yang
mengerahkan kekuatan umat Islam untuk menghadapi tentara Salib. Setelah ia
meninggal, kekuasaan Imamuddin terbagi di antara dua puteranya, Nuruddin yang
menguasai utara Syam dan menjadi penerus ayahnya dalam menghadapi tentara
Salib, dan Saifuddin Gazi yang menguasai Mesul dan daerah lain di Irak.
Dalam
perkembangan selanjutanya, Nuruddin berhasil memperluas kekuasaannya yang
membentang dari Damaskus ke Mesir. Sepeninggalnya, kepemimpinan keluarga Imamuddin
Zangi jatuh ke tangan anaknya, Ismail.
Tercatat
dalam sejarah bahwa pada masa pemerintahan Zangi, terdapat seorang bernama
Bahruz yang hidup di sebuah kota Azerbaijan, dan kemudian berpindah ke Irak
untuk bekerja kepada Sultan Saljuk, Mas’ud bin Giyaduddin. Bahruz diberikan
kekuasaan sebagai gubernur di wilayah Bagdad dan diberikan iqta’ di kota
Takrit.
Dalam
mengelola iqta’ di kota itu, ia dibantu oleh seorang Kurdi yang bernama Syadi
dan dua anaknya Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Syirkuh. Ketika meninggal, Syadi
digantikan oleh Najmuddin sebagai gubernur di Takrit. Di kota inilah Shalahuddin
lahir dari ayahnya, Najmuddin.
Pengaruh
Najmuddin dilatarbelakangi oleh kekuasaan Imamuddin Zangi, yang membantu Sultan
Mas’ud dalam menghadapi khalifah Abbasiyah, AL-Mustarsid. Ketika perlawanan itu
gagal, Imamuddin Mundur ke Takrit. Di kota inilah dia mendapat dukungan dari
Najumuddin. Dalam aliansinya dengan kekuasaan Imamuddin, najmuddin berhasil
memperluas pengaruhnya. Ia ditunjuk menjadi penguasa Baalabek.
Ketika
Imamuddin terbunuh terjadi pertentangan di kalangan keluarganya untuk merebut
puncak kekuasaan. Akhirnya Nuruddin salah seorang putera Imamuddin bersekutu
dengan Syirkuh, yang kemudian berhasil menguasai Aleppo dan Damaskus. Di
samping itu, ia berpandangan bahwa Mesir sangat penting untuk mengahadapi
tentara Salib.
Karena
itu, di bawah pimpinan Syirkuh dan Shalahuddin pasukan Nuruddin menyerang Mesir
pada tahun 559 H/1163 M serangan ini berakhir dengan kegagalan akibat campur
tangan tentara Salib. Serangan ke dua kemudian dilancarkan pada tahun 562 H/1166
M. Dalam pertempuran ini, Nuruddin mengalahkan tentara Salib, akan tetapi
akhirnya kedua pihak sepakat untuk membebaskan Mesir.
Meskipun
demikian, serangan ketiga dilaksanakan pada tahun 564 H/1169 M, akan tetapi
baru dapat menghapuskan kekuasaan Daulah Fatimiyah pada tahun 667 H/1171 M.
dalam masa tiga tahun itu, ia telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk
pada Nuruddin Zangi dan tetap mengakui kekhalifahan Daulah Fatimiyah.
Jatuhnya
Daulah Fatimiyah ditandai dengan pengakuan Shalahuddin atas khalifah Abbasiyah,
al-Mustadi dan pergantian Qadi syiah dengan sunni. Bahkan pada bulan Mei 1175
M, Shalahuddin mendapat pengakuan dari kekhalifahan Abbasiyah sebagai penguasa
Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hijaz dan Suriah. Dan mulai dari sinilah dinasti
Al-Ayyubiyah beridiri.
Usaha-usaha
Dinasti Al-Ayyubiyah
Selain
memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usianya juga dihabiskan utnuk
melawan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Shalahuddin
telah berhasil menaklukkan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan.
Kemudian
pada bulan Juli 1187 M ia jugta berhasil merebut Tiberias, dan melancarkan
perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. Dalam peperangan ini,
pasukan Prancis dapat dikalahkan, Yerussalem sendiri kemudian menyerah tiga
bulan berikutnya, tepatnya pada bulan Oktober 1187 M, pada saat itulah suara
adzan menggema kembli di masjid Yarussalem.
Jatuhnya
pusat kerajaan Haatin ini memberi peluang bagi Shalahuddin al-Ayyubi utnuk
menaklukkan kota-kota lainnya di Palestina dan Suriah. Kota-kota di sini dapat
ditaklukkan pada tahun 1189 M, sementara kota-kota lainnya, seperti Tipol, Antokiyah,
Tyre dan beberapa kota kecil lainnya masih berada dalam kekuasaan tentara
Salib.
Setelah
perang memperebutkan kota Acre yang berlangsung dari 1189–1191 M, kedua pasukan
hidup dalam keadaan damai. Untuk itu, kedua belah pihak mengadakan perjanjian
damai secara penuh pada tanggal 02 Nopember 1192 M. Dalam perjanjian itu,
disebutkan bahwa daerah pesisir dikuasai tentara Salib, sedangkan daerah
pedalaman di kuasai oleh kaum Muslimin.
Dengan
demikian, tidak ada lgi gangguan terhadap umat kristenyang akan berziarah ke
Yarussalem. Keadaan ini benar-benar membawa kedamaian dan dapat dinikmati oleh
Shalahuddin al-Ayyubi hingga menjleang akhir hayatnya, kerena pada tanggal 19
Februari 1193 M, ia jatuh sakit di Damaskus dan wafat dua belas hari kemudian dalam usia lima puluh
lima tahun.
Dalam
catatan sejarah, Shalahuddin tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang
ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, ia adalah seorang yang sangat
memperhatikan kemajuan pendidikan, mendorong studi keagamaan, membangun
bendungan, menggali terusan, serta mendirikan sekolah dan masjid. Salah satu
karya yang sangat monumental adalah Qal’ah al-Jabal, sebuah benteng yang
dibangun di kota Kairo pada tahun 1183 M (Watt: 1988)
Secara
umum, para wazirnya adalah orang-orang terdidik, seperti al-Qadi al-Fadl dan
a-Katib al-Isfahani. Sementara itu, skeretaris pribadinya bernama Bahruddin
ibnu Saddad kemudian juga dikenal sebagai penulis biografinya.
Setelah
Shalahuddin al-Ayyubi meninggal daerah kekuasaannya yang terbentang dari sungai
Tigris hingga sungai Nil itu kemudian dibagi-bagikan kepada keturunannya. Al-Malik
al-Afdhal Ali, putera Shalhuddin memperoleh kekuasaan untuk memerintah di
Damaskus, al-Aziz berkuasa di Kairo, al-Malik al-Jahir berkuasa di Aleppo
(Halab), dan Al-Adil, adik Shalahuddin memperoleh keuasaan di al-Karak dan
asy-Syaubak.
Antara
tahun 1196 dan 1199, al-‘Adil yang bergelar Saifuddin itu mengutamakan politik
perdamaian dan memajukan perdagangan dengan koloni Prancis. Setelah ia wafat
pada 1218 M, beberapa cabang bani Ayyub menegakkan kekuasaan sendiri di Mesir,
Damaskus, Mesopotamia, Hims, Hamah, dan Yaman. Sejak itu, sering terjadi
konflik internal di antara keluarga ay-Yubiah di Mesir denngan di Damaskus
untuk memperebutkan Suriah.
Kemudian
al-Kamil Muhammad, putera al-‘Adil yang menguasai Mesir (615-635 H/1218-1238 M)
termasuk tokoh bani Ayyub yang paling menonjol. Ia bangkit untuk melindungi
daerah kekuasaannya dari rongrongan tentara Salib yang telah menaklukkan Dimyat
tepi sungai Nil, utara Kairo pada masa pemerintahan ayahnya.
Tentara
Salib memang nampaknya terus berusaha menaklukkan Mesir dengan bantuan Italia.
Penaklukan Mesir menjadi sangat penting karena negeri itulah mereka akan
menguasai jalur perdagangan samudera Hindia melalui laut Merah. Setelah hamper
dua tahun (November 1219 hingga Agustus 1221 M) terjadi konflik antara tentara
salib dengan pasukan Mesir, tetapi al-Kamil dapat memaksa tentara salib untuk
meninggalkan Dimyati.
Di
samping memberikan perhatian serius dalam bidang politik dan meliter, al-Kamil
juga dikenal sebagai seorang penguasa yang memberikan perhatian terhadap
pembangunan dalam negeri. Program pemerintahan yang cukup menonjol adalah
membangun saluran irigasi dan membuka lahan-lahan pertanian serta menjalin
hubungan perdagangan dengan Eropa. Selain itu, ia juga dapat menjaga kerukunan
hidup beragama antara umat Islam dengan Kristen koptik, dan bahakan sering
mengadakan diskusi keagamaan dengan para pemimpin koptik.
Ketika
al-Malik al-Saleh, putera Malik al-Kamil memerintah pada tahun 1240 sampai 1249
M pasukan Turki dari Khawrizm mengebalikan kota Yarussalem ke tangan Islam.
Pada tanggal 06 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati ditepi sungai Nil ditaklukkan
kembali oelh tentara Salib yang dipimpin oleh raja Louis IX dari Prancis.
Ketika pasukan salib hendak menuju Kairo sungai Nil dalam keadaan pasang,
sehingga mereka menghadapi kesulitan dan akhirnya dapat dikalahkan oleh pasukan
Ayyubiyah pada April 1250 M.
Kemudian
pada bulan November 1249 M, Malik al-Saleh meninggal dunia. Semula ia akan
digantikan oleh putera mahkota yang bernama Turansyah. Untuk itu, transyah
pannggil pulang dari Mesopotamia (Suriah) untuk menerima tampuk kekuasaan ini.
Untuk
menghindari kevakuman kekuasaan, sebelum Turamsyah tiba di mesir, ibu tirinya
yaitu Sajaratuddur mengalih tambuk kekuasaan. Akan tetapi, ketika Turansyah
mengambil alih kekuasan ia mendapat tantangan dari para Mamluk, hamba sahaya
yang di miliki tuannya, yang tidak menyenanginya. Belum genap satu tahun
Turansyah berkuasa, ia kemudian dibunuh oleh para mamluk tersebut atas perintah
ibu tirinya, Sajaratuddur.
Sejak
saat itu, Sajaratuddur menyatakan dirinya sebagai sultanah pertama di Mesir.
Pada saat yang bersamaan, seorang pemimpin Ayyubiyah bernama al-Asyraf Musa
dari Damaskus juga menyatakan dirinya sebagai sultan Ayyubiyah meskipun hanya
sebatas lambang saja tanpa kedaulatan atau kekuasaan yang riil. Kekuasaan yang
sebenarnya justru berada di tangan seorang mamluk yang bernama Izzuddin Aybak,
pendiri Dinasti Mamluk (1250–1257 M).
Akan
tetapi, sejak al-Asyraf Musa meninggal pada 1252 M, berakhirlah masa
pemerinatahan Dinasti al-Ayyubiyah, dan kekuasaan beralih ke pemerintahan
Dinasti Mamluk (1250-1257 M). Wallahu A’lam!
Muara, November 2008
EmoticonEmoticon