sumber: pelatihindonesia.com |
Latar
Belakang
Akhlakul karimah merupakan misi
agung yang dibawa Nabi Muhammad dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang
utusan. Kontekstualisasi nilai-nilai akhlak merupakan pondasi awal bagi
terciptanya transformasi sosial yang kondusif tanpa ada kesan paksaan dan
dominasi. Karena dalam tataran praktisnya, konsep akhlak lebih diarahkan pada
manefestasi sikap menahan diri dan menghargai orang lain dalam ranah interaksi
sosiokultural. Tak salah, bila Al-Ghazali menyebut akhlak sebagai falsafah
hidup yang merepresentasikan manusia
sebagai individu yang bertakwa[1].
Munculnya radikalisme agama dalam Islam, juga dalam agama-agama lain, merupakan satu implikasi logis dari dangkalnya nilai-nilai akhlak dalam diri setiap pemeluk agama. Sebab sejauh ini, belum ada satu agama yang lahir dengan membawa justifikasi terhadap kekerasan. Apapun alasannya, kekerasan selalu dinilai tindakan anarkis dan anti sosial yang merusak tatanan stabilitas kemasyarakatan. Sehingga kekerasan-kekerasan yang muncul dalam hubungannya dengan umat antar agama, khususnya di Negara kita, telah berbuah pahit dengan semakin menjauhkan para penganut agama dari kehidupan harmonis.
Mengikuti jalur pemikiran di
atas, aktualisasi akhlak menempati urutan pertama yang harus segera
direalisasikan demi terwujudnya mekanisme sosial yang kodusif, jauh dari
kecurigaan-kecurigan dan bersikap toleran terhadap berbagai pluralisme sosial,
termasuk di dalamnya adalah agama. Toleransi, sebagai bagian inhern dari akhlak
sosial, merupakan aplikasi dari kesabaran dan keterbukaan seseorang dalam
menerima perbedaan-perbedaan dengan orang lain[2]
tanpa harus menghilangkan jati diri. Seseorang
yang bersikap toleransi terhadap umat agama lain, berarti sudah menjalankan
misi kerasulan Muhammad sebagai pembawa agama yang “rahmatan lil ‘alamin”.
Tapi persoalannya, apakah
toleransi sebagai salah satu bentuk dari akhlak sosial merupakan jurus ampuh
yang bisa membwa umat beragama dalam lingkaran persaudaran yang kokoh? Dan
sampai di mana batas-batas toleransi agama yang perlu dipraktekkan sehingga
tidak mengikis terhadap ketakwaan penganut agama itu sendiri?. Pertanyaan ini
menjadi penting diajukan karena mengingat toleransi agama terakadang dijadikan
alat menarik pengikut baru oleh pihak tertentu yang dilakukan tanpa tedheng aling-aling.
Toleransi
dan Pluralisme Agama
Penulis sepakat dengan apa yang
disampaikan oleh Alwi Shihab (2001) bahwa pluralisme agama adalah sikap mengakui
keberadaan dan hak agama lain, serta secara dialog terlibat dalam pemahaman
perbedaan dan persamaan demi kerukunan dalam kebhinekaan dengan tetap dibarengi
loyalitas dan komitmen terhadap agama masing-masing[3].
Dalam perspektif pluralisme, perbedaan agama merupakan bentuk deferensiasi
sosial yang menempatkan semua agama sama dalam kedudukan sosialnya. Islam
sebagai mayoritas tetap tidak memiliki hak istemewa dalam interaksi sosial dari
pada agama lain yang lebih kecil. Dari pemikiran ini, doktrin dominasi agama
dan segala bentuk radikalisme sosial berdasarkan agama tetap tidak mendaptakan ruang
gerak dalam Islam.
Dan toleransi yang dilandasi
inklusifisme yang jujur menjadi satu keniscayaan di tengah pluralisme agama
yang menuntut terciptanya hidup rukun. Akan tetapi, sikap saling menghargai[4]
sebagai manefestasi tulen dari roh toleransi agama harus ditafsirkan tidak
lepas dari garis sinergitas teologi agama itu sendiri. Artinya, menghargai
agama lain tidak berarti berlaku rendah pada agama sendiri, dengan tetap
menjauhi fanatisme agama yang berlebihan.
Melihat realitas keagamaan
Indonesia, pemaknaan toleransi dan pluralisme agama, oleh kalangan tertentu[5],
telah melebihi batas kewajaran sehingga menghilangkan pamor agama itu sendiri.
Ketika pluralisme agama diterjemahkan dengan kesamaan agama sebagai jalan
keselematan, maka secara tidak langsung telah mengusung filsafat relativisme kebenaran
yang menolak adanya kebenaran absulut atau kebenaran abadi[6].
Pandangan ini sangat riskan terhadap eksistensi agama dan selanjutnya akan
berdampak buruk pada pengamalan nilai-nilai agama.
Secara sederhana, problematika
keagamaan merupakan ilustrasi jujur dari krisis nilai-nilai fundamental agama
dalam diri tiap penganutnya. Terminologi toleransi, inklusifisme dan pluralisme
merupakan acuan dasar dalam membangun hubungan dialogis agama-agama yang
harmonis. Sebab nilai-nilai moral itulah yang akan mengantarkan manusia pada
fitrahnya sebagai theomorfic being,
yakni sebagai manusia yang berupaya berperilaku sesuai sifat-sifat Allah dan
mewartakan misi kerasulan Nabi (al-Attas,1984:61). Inilah puncak nilai
tertinggi yang harus diamalkan semua umat beragama (baca: Islam).
Toleransi
dan Tantangan Kerukunan antar Agama
Fenomena sosial yang menyajikan
tragedi-tragedi kemanusiaan selama sepuluh tahun terakhir ini menampakkan civility sebagai bagian dari masyarakat
yang berbudaya mengalami pemudaran dari bangsa Indonesia (A’la, 2003:155).
Berbagai konflik sosial baik vertikal atau horisontal kerap muncul kepermukaan
dan sering melibatkan sebuah agama terrtentu. Dan kalau boleh jujur, gejala
terorisme yang berkembang di Negara kita sering melibatkan kelompok-kelompok tertentu
dalam Islam, bahkan pesantren. Seolah agama membolehkan kekerasan terhadap
orang lain. Padahal Islam selalu menganjurkan kedamaian dan mengutuk keras
segala betuk kekerasan[7].
Kerukunan hidup merupakan
anjuran semua agama, siapapun yang mencoba melakukan tindakan anarkis atau
ekstrim yang menggoyah kerukanan hidup akan berdosa terhadap agamanya. Dalam
agama Kristiani, anjuran hidup rukun dapat dilihat dari perkataan Yesus yang
memerintahkan semua umatnya untuk berbuat damai sejahtera dan saling membangun
(Roma 14/19). Begitu pula dalam agama Hindu, anjuran hidup rukun penuh
kedamaian harus dilakukan siapa saja dan di mana saja, baik di angkasa, di
bumi, di air, di pohon, sehingga akhirnya bisa berdamai bersama Tuhan (Yajur
Weda 26/7). Dan ajaran Sang Buddha pun menolak segala betuk pertengkaran dan
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan (Khudaka Nikaya 33/395).
Tantangan Toleransi : Masalah-masalah
yang harus Dihindari
Dari sini, semuanya sudah jelas
bahwa agama selalu identik dengan kebajikan. Perselingkuhan agama yang terjadi
adalah wujud nyata degradasi kesadaran dan pemahaman pemeluknya. Tidak
berlebihan kiranya kalau sampai saat ini toleransi antar pemeluk agama mulai
menyingkar dari ranah keseharian. Hal ini karena didorong oleh beberapa persoalan
yang muncul sebagai realitas kontemporer.
1.
Fanatisme politik
Fanatisme politik, dalam artian
representasi politik praktis yang hanya membawa kepentingan golongan
politiknya, merupakan “budaya politik” kita yang sudah berakar kuat dan
menjalar ke segala ruang. Peta perjalanan politik Indonesia selalu tidak bersih dari
kepentingan-kepentingan yang hanya menguntungkan pihak tertentu, tanpa
kepedulian pada rakyat banyak. Demokrasi hanya berlangsung lima tahun sekali tiap menjelang pemilihan
umum.
Konsep politik seperti tersebut
yang akan melahirkan eksklusifisme kelompok atau sektarianisme yang anti
toleransi pada siapapun yang dianggap rival politiknya. Dan yang lebih gila,
agama sering dijadikan alat justifikasi politik dalam meraih kekuasaan. Dalam
kondisi seperti ini, nilai luhur agama akan ditaklukkan dibawah misi politik
yang eksploitatif tanpa basa-basi. Platform partai (yang egois) akan lebih diindahkan dari pada ajaran agama yang lebih
menekankan pada kebersamaan yang jujur dan dilandasi moralitas.
2.
Ekstremisme agama
Ekstremisme agama, secara
difinitif, adalah kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap tujuan, semangat
dan esensi dari sebuah agama (Shihab, 2001). Ekstremisme akan berbuah
radikalisme agama dan sikap anti toleransi yang sangat mengancam terhadap
kerukunan dalam kehidupan beragama, baik intern atau ekstern. Dan lebih jauh,
berkembangnya ekstremisme akan melahirkan aliran-aliran baru yang berpandangan
sempit dan menolak hak eksistensi aliran
lain. Di Indonesia, aliran berdarah ekstrem ini begitu banyak dan beragam
lengkap dengan doktrin masing-masing[8].
Ketika ekstremisme sudah
mendominasi dalam praktik keagamaan kita, maka toleransi sebagai jalan menuju
kerukunan agama akan menjadi mimpi manis belaka. Keterbukaan akan berubah jadi
semacam kekerasan yang memaksa orang lain untuk masuk dalam agama mereka,
tepatnya dalam kelompok agama versi mereka.
3.
Indeferentisme agama
Kembali pada terminologi agama
ala JIL, bahwa agama apapun sama saja sehingga tidak perlu adanya pemaksaan
agama kepada umat lain yang sudah nyata memeluk suatu agama. Penulis setuju
terhadap larangan pemaksaan dalam memilih agama, tetapi sangat tidak masuk akal
ketika dikatakan semua agama adalah sama, memiliki tujuan sama, yaitu Tuhan,
tetapi dengan cara yang berbeda-beda. Dan di sinilah problemnya, cara yang
berbeda-beda bukan berarti semua sama benar. Sebagai contoh, sepuluh orang
memiliki tujuan yang sama: yaitu shalat. Di antara mereka ada pergi ke pasar,
terminal, laut, diskotik, gunung atau sawah. Manakah yang benar?, tentu yang
pergi ke masjid atau mushalla. Hanya orang gila yang shalat di tengah pasar
atau di sungai.
Maka toleransi bermaksud
menghargai perbedaan-perbedaan cara itu, bukan berarti menyamakanya. Menganggap
semua agama sama akan berakibat pada runtuhnya loyalitas dan ketakwaan dalam
beragama. Akan banyak orang yang dengan mudah pindah agama tidak karena mecari
kebenaran, tapi sekedar mencari kesenangan dengan memilih agama baru yang
dikira tidak memberatkan. Agama hanya dijadikan pelarian nafsu belaka, bukan
kesadaran dalam mengejawantahkan karakter ilahiyah yang jadi fitrah setiap
manuisa (homo religus).
Islam, sebagai agama penutup
bagi semua agama yang ada, mempunyai satu doktrin yang bisa menahan pemeluknya
dari pindah agama. Dalam Islam, orang yang keluar akan diklaim “murtad” dan
semua amalnya akan terhapus seketika, serta boleh dibunuh[9].
Konsep murtad ini merupakan satu konsep penting dalam menjaga loyalitas
keagamaan seseorang. Karena hanya dengan loyalitas inilah toleransi dapat
diterjemahkan dengan segala keterbukaan tanpa merendahkan eksistensi agama yang
ada.
Epilog
Tolerensi sebagai satu di
antara sekian bentuk akhlak sosial yang diamalkan Rasulullah merupkan jalan
utama menuju kehidupan beragama yang stabil dan kondusif. Dengan syarat tetap
tidak mengurangi rasa hormat dan ketaatan pada agama sendiri. Tumbuhnya
kerukunan antar umat beragama merupakan
cita-cita semua pihak yang peduli akan kedamian. Oleh karena itu, duri-duri
yang mengganggu terhadap mulusnya perjalanan ke arah harapan tersebut hendaknya
mulai dibersihkan. Sudah saatnya sejarah berhenti mencatat tragedi keagamaan
yang tidak manusiawi dan merugikan masyarakat banyak.
Mari bersama kita mulai
kehidupan baru yang penuh kebersamaan tanpa kecurigaan, tanpa kesombongan dan
keangkuhan yang telah banyak meneteskan darah pertengkran. Hidup adalah
keindahan, dan seyogyanya kita hidup dengan mengamalkan nilai-nilai keindahan
agar hidup jadi lebih indah. Wallahu
A’lam Bisshawab !.
Muara, April 2008
[1] Imam Al-Ghazali merupakan
tokoh pemikir Islam di bidang tasawuf/akhlak. Akhlak dalam pandangan Al-Ghazali
merupakan maqam tertimggi sehingga diidentikkan dengan takwa sebagai jalan
menuju Allah. Lihat “Sirajut Thalibin fi Syarhi Minhajil ‘Abidin” karya Syaikh Ihsan Ahmad Dahlan.
[2] Toleransi (agama) bukan
berarti membenarkan agama lain, tapi semangat keterbukaan untuk menerima
perbedaan agama dengan tidak mengurangi ketaatan terhadap agama yang dianut.
[3] Pengertian ini menolak adanya
pendapat yang mengatakan semua agama adalah sama, semua agama adalah jalan
keselamatan menuju Tuhan sehingga semuanya benar. “Lihat dalam Islam Inklusif”
karya Dr. Alwi Shihab.
[4] Di sisi penulis lebih suka
menggunakan term menghargai dari pada
menghormati, sebab menghormati
meminta nilai lebih tinggi dari menghargai. Dan penghormatan pada agama lain
dalam kasus tertentu bia membawa kekufuran. Silahkan pahami kembali kitab
“Mirqatu Shu’udit Tashdiq” karya Shekh Muhammad Nawawi.
[5] Yang penulis maksud adalah
kelompok ”Jarigan Islam Liberal” yang telah melahirkan fatwa semua agama sama.
Salah satu kontributornya adalah Nurchalis Madjid yang mengatakan “tiada Tuhan
selain Tuhan. Simak salah satu pemikirannya tertera dalam buku “Membumikan
Nilai-nilai Islam”
[6] Relativisme merupakan aliran
filsafat yang berpandangan bahwa kebenaran itu tergantung pada pandangan orang,
tempat, waktu dan situasi yang melingkupinya.
[7] Kekerasan yang boleh dilakukan
pada orang nun Muslim apabila mereka secara terang-terangan mengganggu dan
memerangi kita. Lihat “Tafsir Al-Manar” karya Rasyid Ridha.
[8] Seorang teman penulis bercerita bahwadia pernah punya
pengalaman pahit ketika numpang shalat dimasjid milik LDII. Selesai shalat,
segala tempat yang disentuh olehnya disirami air karena dianggap najis, bukan
dari golongan mereka.
[9] Orang yang dengan sengaja
melakukan sesuatu yang bisa membuatnya menjadi kufur, maka halal darahnya untuk
dibunuh. Baca “I’anatut Thalibin fi Syarhi Fathil Mu’in”
EmoticonEmoticon