sumber: islamedia.id |
Pendahuluan
Belakangan ini kajian kritis tentang
fiqih dan ushul fiqh mulai dirasakan penting kembali. Paling tidak, karena
pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran
keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai
di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang
mengalami modernisasi.
Di lain pihak, evolusi historikal dari
perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work
bagi pemikiran Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi
karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri[1]. Kehadiran
fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara
amat dominan, fiqih -terutama fiqih abad pertengahan- mewarnai dan memberi
corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam
tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi
dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam
berikutnya.
Pemahaman secara utuh terhadap fiqih
(baca: hukum Islam) merupakan suatu keharusan yang tak bisa diabaikan. Sebab segala amal perbuatan manusia, perilaku dan
tutur katanya, tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum
syari'at yang tercantum di dalam Qur’an dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum
pada keduanya.
Bahkan
menurut Imam Al-Ghazali, mengetahui hukum syari'at merupakan buah (inti) dari
ilmu fiqih dan ushul fiqh[2].
Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syari’at
yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, meskipun dengan tinjauan
yang berbeda.
Ushul
fiqh meninjau hukum syari’at dari segi metodologi dan sumber-sumbernya,
sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syari’at, yakni
ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik
berupa iqtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun
berupa wadl’i (sebab akibat).
Yang
dimaksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah diberikan oleh Allah
terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum
haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan
(mani') dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang
kesemuanya itu, kami katakan merupakan objek pembahasan ilmu ushul fiqh.
Dari
pada itu, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara'
yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadl’i. Keduanya merupakan satu
sub bab yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam system hukum Islam.
Pengertian Hukum Syari’at Islam
Hukum menurut pengertian bahasa berarti
menetapkan sesuatu atau tidak menetapkannya. Misalnya, menetapkan sifat panas
pada api dan menetapkan sifat dingin pada es atau tidak menetapkannya.
Sedangkan syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti
hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang
Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun
hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah[3].
Menurut Mahmud
Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia
berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan, dengan saudaranya
sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam
seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan[4].
Sedangkan
Muhammad ‘Ali At-Tahanawi memberikan pengertian bahwa syari’ah mencakup seluruh
ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah
(kemasyarakatan)[5].
Syari’ah disebut juga syara’, millah dan
diin.
Sementara pengertian hukum syari’at menurut
ulama ushul fiqh ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan
perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa perintah, larangan atau sebab
aikibat (wadl’i)[6].
Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syari’at ialah efek yang dikehendaki oleh
kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah[7].
Lebih lanjut, hukum syara’ adalah
seruan Syari’ (pembuat hukum) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia)
berupa tuntutan, penetapan dan pemberian pilihan[8].
Dikatakan Syari’ tanpa menyebutkan Allah swt sebagai pembuat hukum karena agar
sunnah Nabi Muhammad saw termasuk didalamnya. Dikatakan pula “aktivitas hamba”,
tidak menggunakan mukallaf (orang yang dibebani hukum), agar hukum itu mencakup
anak kecil dan orang gila.
Macam-macam
Hukum Syari’at Islam
Secara
garis besar hukum-hukum dalam syari’at Islam dibedakan kedalam dua kategori,
yaitu hukum taklifi dan hukum wadl’i, sebagaimana yang akan diruraikan dalam
bahasan di bawah ini.
1. Hukum
Taklifi
Sebelum ini penulis membahas lebih lanjut berkenaan dengan hukum
taklifi, maka perlu penulis tekankan bahwa hukum taklifi ini boleh diumpamakan
sebagai garis panduan yang perlu kita patuhi untuk sampai ke sebuah destinasi. Sekiranya
kita gagal mematuhinya, maka perjalanan kita akan terkandas dan pastinya tidak
akan sampai ke destinasi dituju.
Namun begitu, hukum-hukum taklifi ini sangat bergantung kepada keberadaan
hukum wadl'i. Dengan kata lain, hukum wad'i menjadi faktor keberadaan dan
ketiadaan hukum taklifi. Di bawah ini akan penulis uraikan mengenai hukum
taklifi.
a. Pengertian
Hukum Taklifi
Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan
adalah hukum pemberian beban. Sedangkan menurut istilah ialah ketentuan Allah
SWT yang menuntut mukalaf (baligh dan berakal sehat) untuk melakukan atau
meninggalkan suatu perbuatan, atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu perbuatan tertentu[9].
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia
untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Chaerul Uman bahwa hukum taklifi adalah
khitab/firman Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan para
mukallaf, baik atas dasar iqtidha’ atau atas dasar takhyir (pilihan)[10].
b. Macam-macam
Hukum Taklifi
Sesuai dengan jumhur
ulama, hukum taklifi dapat dikelompokkan menjadi 5 macam:
Peratama; Hukum Wajib
Definisi paling
masyhur dari hukum wajib adalah sebuah perbuatan yang apabila dilakukan akan
mendapatkan pahala, dan bila ditinggalkan akan mendapatkan siksa[11].
Pengertian tersebut mengandung beberapa hal yang harus diperhatikan, salah
satunya adalah berisi tuntutan untuk melakukan sesuatu dan larangan untuk
melakukan kebalikannya.
Misalnya seruan tentang kewajiban shalat. Perintah Allah terhadap
orang-orang mukallaf untuk melakukan shalat sekaligus berupa larangan untuk
meninggalkan shalat. Jadi, perintah terhadap sesuatu, merupakan larangan
terhadap kebalikan sesuatu tersebut.
Kedua; Hukum Haram
Secara definitif, haram merupakan suatu ketentuan
larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan, kalau orang melanggarnya,
berdosalah orang itu[12].
Atau lebih jelasnya, haram merupakan satu perbuatan yang apabila dikerjakan
akan mendapat siksa, namun bila ditinggalkan akan mendapatkan pahala.
Hukum haram merupakan
kebalikan dari hukum wajib. Maka dapat dipahami pula bahwa larangan terhadap
sesuatu merupakan perintah terhadap kebalikannya. Seperti larangan memakan
makanan yang najis merupakan perintah memakan makanan yang suci dan bersih.
Ketiga; Hukum Sunnah
Sunnah merupakan suatu
perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak
berdosa[13].
Atau bisa juga dikatakan sebagai suatu perbuatan yang dituntut oleh syari’
tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa. Sunnah merupakan apa yang dituntut oleh syara’ untuk melakukannya
dengan lafaz tidak pasti (ghairu qat'ie), yaitu dengan memuji orang
yang melakukannya dengan mengurniakan pahala, tidak mencela dan tidak berdosa
orang yang meninggalkannya.
Jadi, sunnah hanya merupakan anjuran yang sifatnya bukan paksaan,
seperti halnya wajib, sehingga meskipun tidak dikerjakan tidak sampai membuat
sesorang berdosa, tetapi hanya kurang mendapat karunia dan kehormatan dalam
agama. Karena, amalan-amalan sunnah merupakan amalan yang bisa dijadikan
kendaraan paling baik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Contoh amalan sunnah
dalam kehidupan sehari-hari seperti dzikir susudah shalat, puasa hari senin dan
kamis, shadaqah dan sejenisnya.
Keempat; Hukum Makruh
Arti makruh secara
bahasa adalah sesuatu yang dibenci. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah suatu
ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan[14].
Atau meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya. Maksudnya lebih baik,
apabila ditinggalkan akan mendapatkan pahala, tetapi bila dilakukan tidak
sampai mendapatkan siksa, meskipun tetap tercela dalam pandangan syara’.
Definisi lain, makruh merupakan sesuatu perkara yang mana lebih
afdhal (utama) ditinggalkan dari dilakukan atau apa yanfg dituntut oleh
syara’ kepada setiap mukallaf supaya ditinggalkan (bukan dengan ilzam),
di mana lafadz yang digunakan adalah lafadz yang bermakna benci[15].
Jadi, makruh hanya berupa larangan tetapi terdapat qarinah yang
menunjukkan ia bukanlah haram, tetapi makruh saja. Contoh perbuatan makruh
adalah makan dengan berdiri, berbcara saat berwudlu dan sebagainya.
Kelima; Hukum Mubah
Secara bahasa, arti mubah adalah dibolehkan atau sering
kali juga disebut dengan istilah halal. Menurut istilah, mubah merupakan suatu
perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya
atau tidak mengerjakannya[16]. Atau
segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau
meninggalkannya tanpa dikenakan pahala atau siksa bagi pelakunya.
Kesimpulannya, mubah merupakan
suatu perkara yang jika dikerjakan seorang muslim mukallaf tidak akan mendapat
dosa dan tidak mendapat pahala. Contohnya, seperti makan dan minum yang enak,
belanja, bercanda, berpakaian yang rapi, dan lain sebagainya.
2. Hukum Wadl’i
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa antara hukum
taklifi dan wadl’i tercipta hubungan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Hukum
wadl'i bukanlah bermaksud untuk menuntut atau melarang atau memberi pilihan
kepada kita untuk melakukan sesuatu, sebaliknya ia adalah permulaan kepada
terjadinya sesuatu hukum taklifi. Sebagai contoh, hukum melakukan shalat adalah
wajib. Namun, shalat tidak sah sekiranya dilakukan tanpa wudlu. Ini bermakna,
wudlu adalah syarat bagi sahnya shalat yang merupakan hukum wadl’i.
Melalui contoh-contoh ini, dapat dipahami bahwa terdapat
unsur-unsur lain yang mempengaruhi terjadinya hukum taklifi. Unsur-unsur
tersebut disebut sebagai hukum wad'i. Jadi, jika hukum taklifi adalah ketentuan
Allah yang bersifat perintah, larangan atau pilihan antara perintah dan
larangan, sedangkan hukum wadl’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi[17].
Maksudnya, jika hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib
dilaksanakan umat Islam, hukum wadl’i menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya
matahari pada waktu sore hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan
shalat Maghrib. Lebih lanjut, bisa dijelaskan bahwa hukum taklifi dalam
berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf,
sedangkan hukum wadl’i sebagian ada yang di luar kemampuan manusia dan bukan
merupakan aktivitas manusia.
a. Pengertian Hukum Wadl’i
Ditinjau dari segi bahasa, pengertian hukum
wadl’i adalah sesuatu yang menyebabkan ada atau tiadanya hukum taklifi.
Sedangkan ditinjau dari segi istilah adalah khitab (firman) Allah yang
berhubungan dengan penetapan sesuatu yang menjadi sebab kepada sesuatu atau
menjadi syarat kepada sesuatu atau menjadi pencegah kepada sesuatu, seperti
wudlu jadi syarat sah shalat[18].
Bentuk hukum wadl’i merupakan ketentuan-ketentuan
Allah SWT yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’(penghalang), batal
(fasid), azimah dan rukhshah dalam hukum Islam. Akan tetapi, menurut jumhur
ulama, hanya terdapat tiga jenis hukum
wadl'i, yaitu sabab, syarat dan mani'. Namun ada pula beberapa ulama yang
berpendapat lain, seperti Al-Amidi yang membagikan hukum wadl'i pada
tujuh bagian dengan menambah sah, batal, azimah dan rukhsah[19].
b. Macam-macam Hukum Wadl’i
Sesuai dengan apa yang telah diketengahkan di atas, penulis akan
menguraikan penjelasan tentang macam-macam hukum wadl’i di bawah ini:
Pertama; Sebab
Sebab merupakan sesuatu yang menjadi asas kepada terbentuknya
sesuatu hukum[20].
Apabila ia ada, maka akan terciptalah suatu
hukum dan apabila ia tidak ada, maka tidak ada pula hukum yang berkenaan dengan
hal tersebut. Seperti melihat anak bulan Ramadlan menjadi sebab untuk
melakukan ibadah puasa dan keluarnya mani yang menyebabkan munculnya hukum
wajib mandi.
Kedua; Syarat
Syarat adalah sesuatu yang menyebabkan ketiadaan hukum ketika
ketiadaannya dan memastikan adanya hukum kewujudannya[21].
Syarat berada di luar hukum, tetapi ia memainkan peranan yang sangat penting
dalam mempengaruhi sesuatu hukum itu. Sebagai contoh, wudlu adalah syarat sah shalat.
Apabila syarat (wudlu) tidak ada, maka tidak mungkin ada (tidak sah) shalatnya,
meskipun wudlu bukan bagian dari shalat, atau berada di luar shalat.
Ketiga; Mani’
Mani’
merupakan penghalang terhadap sesuatu, yang keberadaannya
menyebabkan sesuatu hukum itu tidak dapat dilaksanakan[22].
Bisa juga diartikan sebagai suatu perkara dengan kewujudannya menyebabkan tidak
terjadi hukum walaupun ada sebab dan cukup syaratnya. Contohnya membunuh
pewaris menjadi penghalang dari mendapatkan harta warisan.
Keempat; Sahih
Sahih atau sah merupakan suatu perbuatan yang
bisa menghasilkan kesan seperti yang dimaksudkan yang bersifat syar’i, baik
berbentuk ibadah maupun muamalah[23].
Contohnya sembahyang. Apabila ditunaikan dengan cukup syarat dan rukunnya, maka
ia menjadi sah dan dapat meninggalkan kesan syar’i, yaitu bebas dari tanggungjawab
dan berhak dapat pahala.
Kelima; Fasad
Fasad atau rusak merupakan kebalikan dari
shahih. Fasad adalah sesuatu
perbuatan yang tidak meninggalkan kesan yang dimaksudkan yang bersifat syar’i,
baik dalam masalah ibadah maupun muamalat[24]. Contoh
sembahyang yang tidak cukup syarat, maka batal dan tidak meninggalkan kesan
syar’i sehingga tetap tidak bisa lepas dari beban tanggung jawab.
Keenam; Azimah
Menurut
bahasa, azimah adalah cita-cita, atau ketetapan terhadap sesuatu.
Sedangkan menurut istilah adalah sebuah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah
sejak awal terhadap semua mukallaf dan tidak pernah berubah sejak asalnya atau
berubah menjadi semakin berat. Contoh sembahyang yang ditetapkan tidak pernah
berubah, baik berubah lebih berat maupun lebih ringan.
Ketujuh; Rukhshah
Menurut
bahasa rukhshah merupakan keringanan. Menurut istilah, rukhshah adalah sebuah
keringanan hukum yang diberikan oleh Allah karena adanya sebab-sebab tertentu[25].
Jadi, ada perubahan hukum yang telah ditetapkan dari asalnya. Misalnya,
keringanan untuk memakan daging ular yang haram, apabila ada seseorang yang tersesat
di hutan dan tidak tidak menjumpai makanan lain.
Demikian, Wallahu A’lam!
Ares Tengah, Februari 2009
[1] HM. Rasjidi, Hukum
Islam dan Pelaksanaannya Dalam Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985),
hal. 15
[4] Muhammad Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 20
[6] Ibid. hal. 18
[8] Ghufron A.
Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998),
hal. 24
[9] Alaiddin Koto,
opcit. hal. 42
[10] Hasbi
Ashshidqi, Pengantar Ilmu Fiqh. (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 56
[11] Ibid. hal. 58
[12] Nazar Bakry,
opcit. hal. 48
[13] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta; Logos, 1997), hal. 43
[14] Hasbi
Ashshidqi, opcit. hal. 61
[15] Nazar Bakry,
opcit. hal. 50
[16] Amir
Syarifuddin, opcit. hal. 52
[18] Abdul Karim
Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Baghdad: Dar al-Fikr, 1977), hal. 285
[19] Muhammad
al-Amidi, al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, (Kairo: Maktabah Muhammad Ali
Sabih wa Aulauhu, 1972), hal. 194
[20] Ibid. hal. 196
[21] Abdul Karim
Zaidan, opcit. hal. 287
[22] Amir
Syarifuddin, opcit. hal. 59
[23] Muhammad
al-Amidi, opcit. 198
[24] Ibid. hal. 301
[25] Hasbi
Ashshidqi, opcit. hal. 76
EmoticonEmoticon