sumber: http://rukun-islam.com/ |
Pendahuluan
Hari Jum’at
merupakan hari istimewa yang sudah dikenal sejak masa masyarakat jahiliyah
Mekah dengan sebutan hari ‘Arubah. Hari ‘Arubah dikenal sebagai hari yang yang
mengandung keagungan atau ada juga yang menyebutkan sebagai hari kasih sayang.[1] Terkait dengan hal
tersebut, Imam Syafi’i mendefinisikan hari Jum’at sebagai hari yang berada
antara hari Kamis dan Sabtu, agar tampak jelas perbedaannya bagi orang yang
lebih familiar dengan sebutan hari Arubah daripada hari Jum’at[2]. Sebab di masa jahiliyah,
memang sudah terdapat nama-nama hari yang terdapat dalam satuan minggu,
sebagaimana terlihat dalam syi’ir di bawah ini:
أؤمل أن أعيش وإن يومـي #
بأول أو بأهون أو جبار
Secara
berturut-turut, hari Ahad bernama hari Awal, hari senin disebut hari Ahwan,
seterusnya hari Jubar, Dubar, Mu’nis, ‘Arubah dan Syiyar untuk hari Sabtu,
sebagaimana yang ditetapkan dalam hari-hari Islam. Orang yang pertama meletakkan
hari Jum’at yang bertepatan dengan hari ‘Arubah dalam tradisi masyarakat
jahiliyah adalah Ka’ab bin Luay, salah seorang sahabat nabi yang terkemuka.
Sedangkan shalat
Jum’at merupakan sebuah shalat yang memiliki keunikan tersendiri, meskipun juga
tidak terlalu jauh beda dengan shalat pada umumnya. Ia bukan shalat Dhuhur yang
diringkas, bukan pula sebagai penggantinya, meskipun dilaksanakan pada waktu tergelincirnya
matahari sampai munculnya bayangan suatu benda yang menyamai panjang bendanya
(awal waktu Ashar).[4]
Terkait hal ini, terdapat ucapan Umar bin Khatthab yang terkenal:
الجمعة ركعتان تمام غير قصر على لسان نبيكم
صلى الله عليه وسلم وقد خاب من افترى
“Shalat Juma’at adalah dua rakaat yang
sempurna tanpa ringkasan sesuai penuturan Nabi Muhamma SAW, dan sungguh rugi orang
yang mengada-ada”.[5]
Dasar Hukum Shalat
Jum’at
Shalat jum’at sudah
disyariatkan sejak Nabi Muhammad masih berada di Mekah, namun belum
dilaksanakan karena jumlah bilangan yang belum mencukup, dengan pemeluk Islam
yang masih sedikit dan dakwah Islam yang masih dijalankan secara
sembunyi-sembunyi. Sementara shalat jum’at menuntut adanya pelaksanaan yang
terbuka untuk menampakkan syi’ar Islam.
Diriwayatkan oleh
Imam Ad-Daruqudni dari Abdullah bin Abbas bahwa telah diijinkan bagi Nabi
Muhammad SAW untuk melaksanakan shalat Jum’at sebelum hijrah (ketika Nabi
Muhammad masih berada di Mekah), namun Nabi Muhammad tidak bisa mengumpulkan
sahabat-sahabatnya. Kemudian beliau menulis surat kepada Mush’ab bin ‘Umair
sebagai berikut:
فانظر الى اليوم الذى تجهر فيه اليهود
بالزبور لسبتهم، فأجمعوا نساءكم وابناءكم، فإذا مال النهار عن شطره عند الزوال من
يوم الجمعة، فتقربوا إلى الله بركعتين
“Maka perhatikanlah sebuah hari, ketika
orang-orang Yahudi menampakkan diri untuk membaca kitab Zabur pada hari Sabtu
mereka. Maka kumpulkanlah istri-istri dan anak-anak kalian! Jika pada suatu
siang di hari Jum’at, matahari sudah mulai condong ke arah Barat dari
separuhnya, maka mendekatlah kalian kepada Allah dengan shalat dua rakaat”.[6]
Dasar-dasar yang
menjadi landasan hukum pelaksanaan shalat jum’at sebagai fardlu ‘ain bagi
orang-orang yang memenuhi syarat adalah sebagai beikut:
Pertama; Al-Quran
Keterangan lengkap
tentang shalat Jum’at sepenuhnya terdapat dalam surat al-Jumu’ah, terutama pada
beberapa ayat dari surat tersebut. Diantara sekian ayat yang dijadikan landasan
kewajiban melaksanakan shalat Jum’at adalah sebagai berikut:
يا أيها الذين أمنوا إذا نودي للصلاة من
يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع ذلكم خير لكم إن كنتم تعلمون
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila
dipanggil untuk shalat pada hari Jum’at, maka bergegaslah kalian berdzikir
kepada Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi
kalian apabila kalian mengetahui”.[7]
Asababun nuzul dari
ayat tersebut, bahkan surat al-Jumu’ah secara keseluruhan, adalah adanya
seorang sahabat yang bernama Rabbah bin Rabi’ah bin Shaifi bertanya kepada Nabi
Muhammad SAW tentang sebuah hari bagi orang-orang mukmin, sebagaimana berikut
ini:
قال للنبي صلى الله عليه وسلم: لليهود يوم،
للنصارى يوم، فلو كان لنا يوم، فنزلت سورة الجمعة
“Rabbah berkata kepada Nabi Muhammad SAW:
bagi Yahudi ada satu hari, bagi Nashrani ada pula satu hari, maka andai pula
ada bagi kami (umat Islam) satu hari istimewa…, maka turun surat al-Jumu’ah”.[8]
Yang dimaksud
dengan “فاسعوا” adalah “الذهاب”, yaitu pergi ke masjid untuk shalat
Jum’at, bukan bergegas dalam artian buru-buru (الاسراع).[9] Kewajiban pergi ke masjid
berlaku pada saat adzan yang kedua ketika khatib sudah berada di mimbar.
Sementara pada adzan pertama, masih belum diwajibkan walaupun datang lebih awal
tentu lebih baik dan utama dari orang yang datang kemudian, apalagi baru
berangkat sesudah adzan yang kedua.
Kedua; Hadits Nabi
Banyak terdapat
hadits nabi yang berkenaan dengan kewajiban shalat jum’at, salah satu
diantaranya adalah:
لقد هممت أن أمر رجلا يصلى باالناس، ثم
أحرق على رجال يتخلفون عن الجمعة بيوتهم
الجمعة حق واجب على كل مسلم فى جماعة الا
أربعة عبد مملوك او إمرأة او صبي او مريض
Ketiga; Ijma’ Ulama
Semua ulama sepakat
bahwa shalat Jum’at merupakan kewajiban individual (fardlu ‘ain) bagi
setiap orang Islam mukallaf yang memenuhi syarat kewajiban sebagai ahli Jum’at.
Walaupun terdapat beberapa riwayat yang memuat pendapat sekelompok ulama yang
mengatakan bahwa shalat Jum’at adalah fardlu kifayah, bahkan ada
sebagian yang berpendapat sunnah muakkad, sebagaimana sebuah riwayat syadz
(nyeleweng) yang disandarkan kepada Imam Malik. Hal ini terjadi karena adanya
keserupaan shalat Jum’at dengan shalat ied, sebagaimana tersurat dalam sabda
nabi beikut:
إن هذا يوم جعله الله عيدا
Begitu juga
terdapat sebuah riwayat syadz (nyeleweng) yang disandarkan kepada Imam
Syafi’ie, sebagaimana diceritakan oleh Al-Qadli Abu Thayyib bahwa sebagian
ulama syafi’ieyah mengatakan bahwa shalat jumah adalah fardlu kifayah, namun
pendapat ini salah, karena terjadi kesalahpahaman dalam memahami perkataan Imam
Syafi’ie sebagai berikut:
من وجبت عليه الجمعة وجبت عليه صلاة
العيدين
“Barang siapa
yang mewajibkan shalat Jum’at, berarti mewajibkan pula dua shalat ied”.[11]
[1]Dikutip dari Wahbah Az-Zuhaili,
al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al Fikr, 1985), Juz 2,
hal. 259; Syamsuddin Muhammad bin al Khathib Asy-Syarbini, Mughni al Muhtaj
Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadh al Minhaj, (Beirut, Dar al Ma’rifah, 1997), Juz
1, hal. 413;
[2]Imam Nawawi, Kitab al Majmu’
Syarh al Muhadzdzab, (Jeddah, Maktabah al Irsyad, tt), Juz 4, hal 347
[3]Abu Hasan Ali bin Muhammad bin
Habib Al-Mawardi, al Hawiy al Kabir, (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah,
1994), Juz 2, hal. 402
[4]Syamsuddin Muhammad bin al
Khathib Asy-Syarbini, Mughni al Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadh al Minhaj,
(Beirut, Dar al Ma’rifah, 1997), Juz 1, hal. 414; Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab
al Fiqh ‘ala al Madzahib al ‘Arba’ah, (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah,
2008), Juz 1, hal. 341
[5]Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqh
al Islami wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al Fikr, 1985), Juz 2, hal. 261
[6]Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqh
al Islami wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al Fikr, 1985), Juz 2, hal. 261
[7]Surat al-Jumu’ah ayat 9
[8]Abu Hasan Ali bin Muhammad bin
Habib Al-Mawardi, al Hawiy al Kabir, (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah,
1994), Juz 2, hal. 400
[9]Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqh
al Islami wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al Fikr, 1985), Juz 2, hal. 261;
Abdul Wahid bin Ismail Ar-Ruyani, Bahr al Madzhab fi Furu’ Madzhab al Imam
asy Syafi’i, (Beirut: Dar Ihya’ al Turats al ‘Arabi, 2002), Juz 3, hal.
90-91
[10]Ibnu Ruysd, Bidayah al
Mujtahid fi Nihayah al Muqtashid, (Surabaya: al Hidayah, tt), Juz 1, hal.
113
[11]Imam Nawawi, Kitab al Majmu’
Syarh al Muhadzdzab, (Jeddah, Maktabah al Irsyad, tt), Juz 4, hal 349
EmoticonEmoticon