sumber: mediaislamia.com |
Biasanya, mulai
tanggal 21 sampai 27
di bulan puasa, ramai-ramainya kaum muslim membayar zakat guna menyucikan diri
dari berbagai kesalahan vertikal maupun horizontal. Sudah menjadi rutinitas
tahunan setiap tanggal tersebut, di desa saya, pojok timur pulau Madura, sering
dikunjungi banyak kiai dari berbagai pesantren di suatu daerah dalam rangka
silaturrahim, menyapa kaum petani dan nelayan di desa ini. Namun, diakui atau
tidak, hal ini membawa kesan yang kurang menyenangkan bagi sebagian masyarakat
(desa saya) dengan tanggapan yang sering dilontarkannya “silaturrahim
kok milih-milih waktu!”.
Kehadiran para kiai ke desa
saya menjadikan masyarakat terpecah menjadi dua golongan: Pro dan Kontra. Keduanya
tentu memiliki alasan masing-masing. Bagi masyarakat yang pro, kehadiran para
kiai di akhir bulan puasa ini memang momen yang ditunggu-tunggu. Mereka
terlihat begitu semangat menyambut kedatangan para kiai dengan memberikan zakat
fitrah kepadanya.
Sementara masyarakat yang
kontra dengan hal itu, beranggapan bahwa para kiai yang dengan suka rela datang
ke desa ini memberikan kesan yang cukup janggal: menjemput zakat fitrah.
Sehingga, dalam pandangan mereka (masyarakat yang kontra) pemberikan zakat
semacam itu sama halnya dengan menanam jagung di ladang yang sudah sarat dengan
bermacam-macam tumbuhan.
Saya rasa semua kalangan
sepakat bahwa kiai adalah sosok teladan bagi seluruh umat. Tak ayal jika ia
sering mendapatkan tempat yang mulia dalam kehidupan masyarakat. Akan tetapi,
kehidupan tetaplah kehidupan. Perubahan adalah sesuatu yang tak dapat
dielakkan.
Sebagian masyarakat,
nampaknya sudah mulai merasakan adanya perbedaan antara kiai pada masa dulu
dengan kiai saat ini. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari kewibawaan, sikap
serta kepedulian terhadap iman para umatnya. Maka, wajar saja tercipta
pro-kontra masyarakat dalam menyikapi persoalan di atas.
Ini sedikit kutipan
percakapan antara masyarakat yang pro dan kontra menjelang berakhirnya bulan
puasa.
Pro : “Kenapa zakat kalian tidak diserahkan kepada kiai yang dengan sudi
berkunjung ke desa kita?”
Kontra : “Bagi
kami, kiai tersebut adalah saudara sederajat dengan
kami, mereka bukanlah pasangan hidup kami yang pantas mendapatkan apa yang kami
miliki!”
Jawaban yang menakjubkan,
menawarkan ketegasan dalam memilih sesuatu yang mewarnai kehidupannya. Ia lebih
mengarahkan pandangannya ke bawah yang mana ia dapati “tuhan-tuhan kecil”
menengadah dengan kedua tangan di depannya, meski jarang sekali ada tangan-tangan
suci yang sudi menyentuhnya. Manusia hidup seolah sendiri-sendiri, tidak mau
mengakui adanya pasangan hidup yang seharusnya disikapi dengan saling berbagi,
mengasihi dan saling melengkapi.
Hidup Kok Sendiri-sendiri
Tuhan menakdirkan manusia
hidup berpasang-pasangan. Tetapi ungkapan berpasang-pasangan sering dipahami
dari sudut pandang yang sempit, sebagaimana
terekam dalam pemahaman sebagian insan, yaitu pasangan laki-laki dengan
perempuan. Padahal jika kita tilik dari maksud yang sebenarnya, ia memiliki
cakupan arti yang sangat luas, seperti: hitam-putih, sedih-bahagia, pintar-bodoh,
kaya-miskin dan seterusnya.
Dua hal yang sering
berpasangan tersebut memang ada secara muthlak dan memiliki keterkaitan yang
tidak bisa dipisahkan. Contohnya saja, bagaimana mungkin anda mengatakan bahwa anda
sedang sedih jika sebelumnya anda tidak pernah bahagia?, bagaimana bisa anda
berbangga diri menjadi orang paling pintar, jika pengakuan tersebut membutuhkan
orang-orang bodoh di sekitar anda?, bagaimana pula anda mengaku kalau anda
kaya, jika di sekitar tempat anda hidup tidak ada yang miskin?. Keterkaitan itu
yang sering dipisah-pisahkan oleh manusia, sehingga tercipta ketidakbersamaan
hidup sebagaimana layaknya dua orang yang berpasangan.
Memang diakui kehidupan manusia
sering dijajah dengan suasana-suasana sinis yang merupakan akibat dari
rendahnya tingkat pemahaman serta tipisnya kesadaran untuk menyalami pasangan
hidupnya dengan sepenuh hati. Kerap kali peristiwa tersebut mengundang
problematika sosial secara vertikal, terutama antar si kaya dan si miskin. Kesenjangan
yang tidak disikapi dengan jiwa toleransi akan mengakibatkan terjadinya perpecahan.
Pihak yang kaya senantiasa
hidup berkolaborasi dengan sesama kayanya, sedang yang miskin tetap sengsara
dalam kemiskinannya. Itulah yang penulis maksudkan dengan hidup
sendiri-sendiri. Sebab, salah satu kendala kekurangakraban antar keduanya ialah
adanya rasa gengsi dari pihak atas untuk berjabat tangan dengan orang-orang
kecil yang sering mereka injak-injak tanpa rasa kasihan.
Sejatinya, hidup memang
harus bersama. Karena manusia adalah makhluk yang saling membutuhkan satu sama
lain. Kebersamaan dalam arti saling mengisi adalah syarat penting
keberlangsungan hidup setiap insan. Tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri
tanpa ulur tangan dari yang lain. Setiap agama tentu memerintahkan seluruh
umatnya untuk hidup berdampingan baik sebagai saudara maupun pasangan.
Memahami Saudara Hidup dan Pasangan Hidup Sejati
Semua manusia pada
hakikatnya dituntut untuk memahami status sosialnya masing-masing. Dengan
demikian, stratifikasi sosial dalam kehidupan masyarakat mendapatkan ruang
dalam menciptakan keharmonisan hidup antar sesama. Penyelewengan antara hak dan
kewajiban akan terminimalisir bahkan terhapus dengan adanya kesadaran tersebut.
Karena penentuan dua posisi (saudara atau pasangan hidup) itu hanya dapat
diketahui dengan menyadari status dirinya: kaya atau miskin? Jika kita berada
di posisi atas (kaya) berarti pasangan kita adalah orang miskin yang awalnya
tidak kita hiraukan. Sedangkan saudara hidup manusia ialah individu-individu
yang memiliki status sosial yang sama, entah sama kayanya atau sama miskinnya.
Dikatakan pasangan karena
memang tidak sama. Ketidaksamaan tersebut mengisyaratkan adanya upaya untuk
saling melengkapi. Sebab tidak bisa dipungkiri, semua manusia saling
membutuhkan. Manusia dilarang keras memiliki sifat egois yang selalu memihak
semata untuk kepentingan pribadinya. Kita sebagai manusia harus menyadari siapa
saja yang menjadi saudara hidup dan siapa pula pasangan hidup kita?.
Semestinya, kita berbuat
baik pada seluruh manusia terlepas ia saudara maupun pasangan hidup kita. Apapun
yang kita miliki baik berupa kepandaian maupun kekayaan adalah titipan dari
Tuhan yang di dalamnya terdapat hak orang lain. Orang lain itu adalah pasangan
kita yang berhak menerimanya. Persoalannya, sudahkah kita menafkahi pasangan
hidup kita yang sejati? Atau termasuk orang yang lalaikah kita terhadap
pasangan hidup kita sendiri?. Jadi manusia harus benar-benar memahami dan bisa
membedakan antara saudara hidup dan pasangan hidup yang sebenarnya.
Author: Bintu Assyatthie
EmoticonEmoticon