sumber: http://kalatida.com/ |
Term
mengenai tawasuf modern dan klasik sebenarnya hanya menyangkut persoalan
bungkus peristilahan semata, bukan subtansi ajarannya. Hanya sebatas adaftasi context
(suasana), bukan content (isi). Berasal dari bahan utama yang sama
dengan diproses melalui berbagai mekanisme dan orientasi yang beragam, sehingga
produk yang dihasilkan semestinya juga beragam. Hal ini membuat tasawuf menjadi
lebih luwes dan mampu merangkul terhadap kenyataan sosial yang serba plural.
Tak
perlu jauh, contoh sederhana adalah beras (content). Ia bisa diolah
tidak hanya menjadi nasi, bisa pula menjadi bubur, ketupat bahkan sabun mandi.
Tinggal bagaimana beras itu diproses secara mekanik maupun alamiah dan
diorientasikan untuk kepentingan tertentu, sesuai dimensi waktu (context).
Sementara tawasuf melampaui segala zaman dan menempati segala ruang.
Di
masa silam, tasawuf dan filsafat pernah menjadi pioner peradaban Islam yang sangat
gemilang. Sedangkan di zaman modern, tasawuf seolah menjadi warisan yang
terbuang, bahkan dianggap sebagai penghambat kemajuan. Kejumudan Islam dewasa
ini, oleh sebagian orang, dituduh sebagai akibat dari ajaran-ajaran sufisme
yang bersikap apatis terhadap dunia (materialisme). Persepsi terhadap dunia
tentu akan sangat berpengaruh terhadap cara memperlakukan dunia.
Kesalahpahaman
tersebut, ditambah dengan realitas masyarakat modern yang sangat materialistik,
justru momentum paling tepat untuk menghadirkan tasawuf pada konteks yang
sebenarnya. Bahkan, porsi kebutuhan zaman modern terhadap tasawuf jauh lebih
besar dari pada zaman klasik. Barangkali inilah yang melahirkan istilah tasawuf
modern dan klasik, yang sekilas tampak dikotomis, namun pada kenyataannya
bersinergis. Modern hanyalah ruang yang menuntut tasawuf lebih kreatif dalam
merespon segala persoalan yang sangat kompleks.
Kompleksitas
ini sangat kentara dengan semakin pesatnya media informasi dan hasil teknologi
lainnya, yang terus menggerus nilai-nilai kemanusiaan. Humanisme Barat
menemukan kuburannya sendiri di tengah peradaban positivistik yang mereka
rancang. Manusia modern benar-benar tidak berdaya berhadapan dengan hasil
ciptaannya sendiri, yang mereka sebut sebagai sains dan teknologi. Tidak salah
kalau Nietzche meneriakkan dengan lantang: Tuhan telah mati, karena manusia
(modern) telah membunuhnya!
Teknologi
dan Tuhan yang Dibuang
Jantung
peradaban masyarakat modern adalah teknologi. Ketergantungan masyarakat modern
terhadap teknologi sudah terbilang cukup kronis. Itupun teknologi yang diconvert
sedemikian rupa dengan sebatas mesin-mesin, alat-alat dan perangkat-perangkat
lain yang bermuatan otomotif dan elektronik, hardware maupun software.
Bukan pada proses berteknologi.
Teknologi
secara sederhana adalah rekayasa. Merekayasa berarti membuat sesuatu yang tidak
bisa dimakan menjadi bisa dimakan, seperti beras dirubah jadi nasi. Pohon jati
dirubah jadi kayu (balok), lalu dibentuk jadi lemari, ranjang, kursi-meja,
pintu-jendela dan seterusnya. Kapas diolah jadi kain dan dikonveksi jadi baju. Segala
hal upaya untuk merekayasa hidup lebih mudah adalah teknologi. Hijrah nabi ke
Madinah dalam rangka mempermudah dakwah Islam adalah sebuah teknologi terbesar
sepanjang sejarah Islam.
Teknologi
terletak pada proses, bukan hasil rekayasanya. Komputer dan handphone
adalah contoh paling gamblang hasil rekayasa dalam rangka membuat hidup lebih
mudah, termasuk pula segala alat-alat transformasi yang semakin canggih dari
hari ke hari. Itu semua disebut alat-alat atau fasilitas, dan pemanfaatan
peralatan tersebut untuk membuat hidup lebih mudah, inilah yang disebut sebagai
teknologi.
Karena
dalam proses berteknologi (baca: merekayasa hidup) memerlukan alat-alat,
persepsi masyarakat Modern secara umum terhadap teknologi hanya berkutat pada
alat-alat saja. Tanpa alat-alat yang dimaksud, hidup tak bisa dibuat lebih
mudah, nyaman dan yang muncul belakangan adalah pragmatis. Padahal, alat-alat
teknologi adalah kebutuhan sekunder, bahkan tersier, yang primer adalah Tuhan
dan usaha manusia itu sendiri, dalam perspektif tasawuf.
Bisa
dijelaskan begini: mobil, secanggih apapun, tidak akan langsung bergerak
otomatis tanpa ada orang yang menghidupkan, menginjak pedal gas dan memegang
kemudi. Seseorang tidak secara otomatis pula berbuat demikian tanpa diawali
oleh kehendak, dan kehendak tak akan muncul kecuali dari roh, sedangkan roh
hanya berurusan dengan Tuhan: wa nafakhtu fiihi ruuhi. Kehendak manusia
hanya berputar-putar pada dua hal: kehendak ukhrawi dan kehendak duniawi.
Sudah bisa dipastikan, bagian mana yang paling primer dalam hierarki tersebut.
Persoalan
pertama yang muncul adalah keberadaan Tuhan yang tersingkirkan karena kalah
bersaing dengan alat-alat teknologi. Kapal yang terbang lebih terlihat daripada
Tuhan yang menerbangkan. Tuhan kurang mendapatkan ruang dalam peradaban modern.
Sesekali Tuhan diperlukan kalau bisa mempermudah mendapatkan uang dan jabatan. Dan
pelan-pelan: segala peralatan hidup yang serba material sudah diperlakukan
seperti Tuhan yang transendental.
Facebookan
lebih menyenangkan ketimbang shalat dan dzikiran: Tuhan sudah mulai dibuang. Seorang
teman, mencari istri lewat chating di FB, padahal ia santri dan sudah
pasti ketemu dengan hadits nabi yang menerangkan bagaimana hendaknya memilih
seorang istri. Istikharah itu ribet dan tidak praktis. Bukankah teknologi
mengajarkan manusia untuk serba cepat dan realistis? Sementara Tuhan? Ah,
terlalu jauh di seberang sana: masih diperlukan kesabaran dan perjalanan
panjang untuk sampai ke hadiratNya. Sementara manusia modern, sudah tidak punya
waktu untuk berbuat sejauh itu.
Keaslian
dalam Kepalsuan-kepalsuan
Persoalan
kedua adalah manusia menjadi sekedar makhluk fisik-mekanik. Ia begitu pasif,
irasional dan fungsional belaka ketika berhadapan dengan alat-alat teknologi.
Hal ihwal yang berkenaan dengan yang tersembunyi (dimensi batin), dan hati yang
menjadi pusat roh dan kehendak, dikesampingkan sebagai urusan belakangan. Tugas
tasawuf adalah menata dimensi batin ini sebagai prinsip nilai yang sangat
diperlukan manusia modern dalam memanfaatkan teknologi, agar benar-benar
bermanfaat.
Dominasi
teknologi membuat manusia modern mengalami dehumanisasi besar-besaran, teriak
Herbert Marcuse. Teknologi mengarahkan manusia modern pada kepalsuan-kepalsuan.
Kepalsuan ini menemukan titik koordinatnya yang sempurna pada proyek promosi
dan iklan-iklan, hal yang menjadi kewajiban dalam rukun marketing kapitalisme
modern. Siang malam kita dihadapkan pada kebohongan iklan: cantik luar dalam
dengan produk tertentu, cerdas dengan makanan tertentu, dan seterusnya.
Benar-benar fisik sentris dan materialistis.
Selain
itu, orang-orang modern berpikir sangat pragmatis: peralatan teknologi akan
membuat hidup lebih mudah. Lagi-lagi sebuah penipuan. Kebiasaan menggunakan
sendok akan mereduksi manfaat tangan. Kebiasaan berkendara akan membuat lupa
menyukuri nikmatnya kaki. Keasyikan chating di media sosial akan
mengurangi asyiknya silaturrahim dan perjumpaan. Begitu seterusnya. Alat-alat
itu semakin memperalat manusia, yang seharusnya sebaliknya.
Dari
sini, tasawuf menawarkan jalan menuju keaslian. Ma’ruf al-Karkhy mendefinisikan
tasawuf sebagai upaya mengambil yang asli dan mengabaikan semua yang palsu.
Yang asli adalah ajaran Tuhan (ad-din), sementara yang falsu adalah ma
fi aidil khalaiq: segala yang bersumber dari makhluk. Agama diturunkan
untuk lebih memudahkan manusia dan menolak segala kesempitan-kesempitan.
Tasawuf mengajarkan untuk taubat, sabar, syukur, zuhud, tawakal, ridla,
ma’rifat, mahabbah dan sejenisnya sebagai syarat utama untuk memudahkan hidup
dan membuat hidup lebih hidup dengan penuh makna dan bermanfaat.
Kalau
kebersihan hati dan kemurnian kehendak dengan segala variabelnya yang menjadi
ajaran inti tasawuf dituduh sebagai penghambat kemajuan, ya silakan saja kalian
terus maju dengan hati yang penuh birahi amarah kebencian dendam iri kebohongan
keculasan kerakusan beserta kroninya yang lain sebagai kunci kebiadaban, bukan
peradaban. Perlu dicatat: kemajuan tidak bertepuk sebelah tangan dengan
keselamatan, dunia mapun akhirat.
Peara, 10 Maret 2017
(Tulisan ini dimuat di Majalah New Fatwa Edisi 7 II Maret-April 2017)
EmoticonEmoticon