sumber: https://www.kampustauhid.org/ |
صفات الله ليست عين ذات # ولا
غيرا سواه ذا انفصال
Artinya:
Menurut
ahlussunnah wal jama’ah, sifat-siafat Allah SWT, seperti qudrah (kuasa), iradah
(kehendak), ilm (tahu), hayat (hidup), sama’ (mendengar), bashar (melihat) dan
kalam (berkata), bukanlah dzat Allah SWT tapi bukan pula susuatu yang lain,
yang terpisah dari dzat.
Keterangan:
Sifat
merupakan sesuatu yang menunjukkan
sebuah makna yang lebih atas dzat. Dalam bait ini, Kiai Nadhim bersebarangan
(bahkan menolak) terhadap dua kelompok teologi dalam Islam.
Pertama;
Mu’tazilah
Kelompok
ini mengatakan bahwa sifat-sifat Allah SWT adalah dzatNya sendiri. Artinya, dengan
melihat dari sisi yang diketahui, maka Allah SWT disebut sebagai ‘Alim (Yang
Maha Tahu), dengan menilik dari sisi yang dikuasai, maka Allah SWT disebut
sebagai qadir (Yang Maha Kuasa). Mu’tazilah menolak adanya semua sifat ma’ani
yang tujuh.[1]
Alasan
yang dikemukakan, kalau sifat Allah SWT bukanlah dzat Allah SWT, maka akan
terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya yang qadim). Artinya, yang
kekal bukan hanya Allah SWT saja, tetapi juga sifat-sifatNya. Hal ini jelas
bertentangan dengan konsep kesesaan Allah SWT yang menjadi salah satu dari lima
pilar ajaran mu’tazilah. [2]
Kedua;
Karramiyah
Kelompok
ini berpendapat bahwa sifat-sifat Allah SWT adalah sesuatu yang lain, yang dapat terpisah dari dzat
Allah SWT. Hal ini jelas bertentangan dengan paham ahlussunnah wal jama’ah,
sebagaimana disampaikan oleh Kiai Nadhim. Seperti contoh, angka 10, yang
terdiri dari bilang 1 dan 0. Jelas, 1 bukanlah 10, tapi juga bukan bagian lain
yang terpisah dari angka 10. Comtoh ini hanya sekedar mempermudah pemahaman,
karena Allah SWT Maha Suci dari segala percontohan.
صفات الذات والأفعال طرا # قديمات
مصونات الزوال
Artinya:
Semua
sifat-sifat Allah SWT, baik sifat dzat seperti qudrah (kuasa) maupun sifat al’alNya
seperti mencipta, menghidupkan, mematikan dan sejenisnya, adalah qadim (dahulu
atau adanya tanpa permulaan) dan kekal (tidak rusak dan tidak berubah-berubah).
Keterangan:
Sifat
dzat adalah sifat-sifat yang menjadi rujukan perbuatan Allah SWT atas segala
sesuatu, seperti sifat ilmu (mengetahui), qudrah (kuasa), iradah (berkehendak),
hayat (hidup), dan sifat-sifat yang menjauhkan Allah SWT dari segala kekurangan,
seperti sifat sama’ (mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara) dan baqa’
(kekal).
Sifat
af’al adalah sifat-sifat yang berhubungan dengan perbuatan Allah SWT, seperti
mencipta, menghidupkan, mematikan, meniadakan, memberi rizki dan sesamanya. Terdapat
sedikit perbedaan antara kelompok al-maturidiyah (pengikut Imam al-Maturidi) dan
asya’irah (pengikut Imam al-Asy’ari), tentang sifat af’al ini.
Menurut
kelompok al-maturidiyah, sebagaimana ini juga menjadi madzhab Kiai Nadhim,
sifat af’al juga qadim sebagaimana sifat dzat. Sebab menurut mereka,
sifat-sifat ma’ani ada delapan, selain yang tujuh yang sudah disebutkan
sebelumnya, yaitu sifat takwin (mencipta/mengadakan). Pada dasarnya,
sifat takwin ini hanya satu, namun menjadi bermacam-macam dengan melihat
beragam ta’alluq (relasi/hubungan) dari sifat tersebut.
Seperti
contoh, apabila sifat takwin ini berhubungan dengan menghidupkan
sesuatu, maka disebut ihya’. Bilamana berhubungan dengan pekerjaan
mematikan disebut dengan imatah, begitu juga bila berbuhungan dengan
perbuatan mencipta sesuatu disebut dengan ijad, dan seterusnya.
Jadi,
Allah SWT melakukan segala perbuatannya, mencipta dan meniadakan sesuatu,
dengan sifat takwin, dengan segala variabelnya. Karena sifat af’al
menjadi dzat (subtansi) dari sifat takwin, maka sifat af’al menjadi
qadim juga.
Sedangkan
menurut kelompok asya’irah, sifat af’al adalah hadits (baharu).[3]
Sebab sifat takwin termasuk ta’alluq
dari sifat qudrah, dan semua yang menjadi ta’alluq dari sifat qudrah
adalah hadits. Perbuatan Allah SWT yang berkenaan dengan mengadakan dan
meniadakan sesuatu, dilakukan dengan sifat qudrah. Sebab, bilamana Allah SWT
berbuat dengan sifat takwin, maka hal ini dapat meniadakan faidah sifat
qudrah.
Menurut
al-maturidiyah, sifat qudrah hanya menyiapkan sesuatu yang mungkin untuk dibuat
ada, setelah tidak ada. Sedangkan sifat takwin adalah mengadakan sesuatu yang
mungkin tersebut dengan satu perbuatan. Artinya, perbuatan mengadakan itu yang
disebut dengan takwin. Sedangkan menurut asya’irah, sesuatu yang mungkin, bisa
saja dibuat ada tanpa adanya sesuatu yang menjadikan ia bisa dibuat ada.
نسمي الله شيئا لا كاالأشيا # وذاتا
عن جهات الست خالي
Artinya:
Menurut
ahlussunnah wal jama’ah, kita boleh mengatakan Allah SWT sebagai sesuatu dan atau
dzat, tapi berbeda dengan sesuatu dan dzat yang selainNya. [4]
Dzat Allah SWT adalah wajib al-wujud (wajib adanya), sedangkan dzat yang
selainNya hanya mumkin al-wujud (mungkin ada dan mungkin tidak ada). Selain itu,
dzat Allah SWT berada diluar lingkaran arah yang enam, yaitu barat-timur,
utara-selatan, atas-bawah, ataupun depan-belakang, kanan-kiri, atas-bawah.
Keterangan:
Kita
semua tidak boleh memikirkan dzat Allah SWT, dan hanya boleh, bahkan
dianjurkan, untuk selalu memikirkan ciptaanNya yang bertebaran di alam semesta,
di langit dan di bumi. Memikirkan dzat Allah SWT, terkadang terjebak pada
persepsi-persepdi yang tidak pantas dan salah terhadap Allah SWT. Seperti membayangkan
bahwa Allah SWT berupa cahaya yang menderang, atau Allah SWT bersemayam pada
sebuah kursi di atas langit.
Oleh
karena itu, seorang sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, Ibnu Abbas RA, pernah
berkata: “Berpikirilah kalian tentang pemberian Allah SWT, dan jangan kalian
berpikir tentang Allah SWT”. Syaikh Imam al-Barawi juga berkata bahwa tidak
boleh membahas tentang dzat dan sifat-sifat secara mendalam (mendetail). [5]
[1] Meskipun
Allah SWT memiliki sifat mengetahui, menurut Mu’tazilah, pengetahuan Allah SWT
bukan dari sifat ‘ilmuNya, tapi dari dzatNya: ilmullahi dzatuhu (ilmu Allah
adalah dzat Allah itu sendiri). Begitu seterusnya.
[2] Perlu
dipahami bahwa mu’tazilah tidak meningkari adanya sifat-sifat Allah SWT. Hanya saja
menurut mereka,sifat-sifat Allah SWT itu adalah dzat Allah SWT sendiri, bukan
sesuatu yang lain dari dzat.
[3] Kata
hadits (baharu) di sini adalah lawan atau kebalikan dari qadim (dahulu).
[4] Dalam
ilmu fisika, dzat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang menempati ruang dan
memiliki massa. Tentu definisi ini hanya berlaku di luar dzat Allah SWT, bahkan
cahaya, meskipun dalam kajian tauhid atau teologi dikatakan dzat, tapi dalam
ilmu fisika bukan dzat.
[5] Akal
yang terbatas, tidak mungkin mampu membahas Allah SWT yang tidak terbatas. Bahkan
ma’rifat kepada Allah SWT sejalan dengan kebodohan kita kepadaNya. Semakin kita
bodoh dan bingung, semakin kita berma’rifat kepadaNya.
EmoticonEmoticon