sumber: http://www.voa-islam.com/ |
Dengan demikian, sesuai hadits nabi dan pendapat para ulama dari berbagai madzhab, menyepakati bahwa shalat Jum’at tidak diwajibkan bagi setiap orang Islam. Akan tetapi, hanya wajib bagi sebagian dari mereka yang memiliki syarat-syarat berikut ini:
Pertama; Mukallaf
Semua ulama dari
berbagai madzhab menjadikan mukallaf sebagai syarat utama dalam mengenakan
kewajiban shalat Jum’at bagi orang Islam. Mukallaf berarti sudah dikenai beban
hukum secara mandiri. Ia sudah menanggung segala konsekuensi hukum dari setiap
perkataan dan perbuatannya. Mukallaf menjadi dasar hukum semua aturan dalam
Islam.
Seseorang disebut
mukallaf ketika ia sudah baligh (dewasa) dan berakal sehat. Baligh maksudnya sudah
mencapai batas usia dewasa, baik karena sudah mencapai umur 15 tahun, atau
sudah berumur sembilan tahun dan mengalami tanda-tanda kedewasaan, seperti haid
bagi perempuan atau bermimpi basah bagi laki-laki. Umur 15 tahun adalah target
maksimal, baik mengalami tanda kedewasaan atau tidak, apabila sudah berumur 15
tahun, seseorang sudah disebut sebagai baligh. Sementara umur 9 tahun adalah
target minimal. Selama masa interval umur 9-15 tahun (kurang sedikit),
seseorang memerlukan tanda-tanda kedewasaan untuk disebut sebagai baligh.
Sedangkan yang
dimaksud berakal sehat adalah adalah akalnya tidak sedang terganggu, sudah
matang (dewasa) dan normal seperti umumnya. Oleh karena itu, anak-anak, orang
gila dan orang mabuk tidak bisa disebut sebagai orang mukallaf, meskipun sudah baligh. Selama akal
seseorang tidak dalam keadaan normal, baik disengaja atau tidak, maka saat itu
bukanlah orang mukallaf. Makanya ada hadits yang menyebutkan bahwa agama adalah
untuk orang-orang yang berakal (sehat)
Kedua; Merdeka
Merdeka yang
dimaksud adalah bukan orang yang sedang terikat dalam perbudakaan, dengan
segala jenis dan variabelnya. Apapun namanya, selama masih disebut sebagai
budak, tidak dikenakan kewajiban melaksanakan shalat Jum’at, seperti budak
muba’adl, yaitu budak yang sebagian dari dirinya sudah merdeka; atau budak
mukatab, yaitu budak yang dijanjikan kemerdakaan oleh majikannya pada batas
waktu tertentu dengan cara membayar sejumlah uang tertentu yang bisa dicicil
oleh si budak; atau budak mudabbar, yaitu budak yang dijanjikan kemerdekaan
kalau majikannya meninggal dunia; dan jenis-jenis budak yang lain.
Terdapat ulama yang
mengatakan bahwa seorang budak mukatab wajib mengikuti shalat Jum’at selama
tidak sedang bepergian, tetapi ini pendapat yang ditolak oleh ashhabussyafi’ie (para
pengikut Imam Syafi’ie). Selama bernama budak, apapun jenisnya, tetap tidak
wajib shalat Jum’at, kecuali jika ada perjanjian dengan majikannya.
Istilah budak ini
berbeda dengan pembantu rumah tangga atau yang sejenis. Budak tidak memiliki
kemerdekaan sama sekali. Apa yang ia miliki dan kerjakan, semua hanya untuk
tuannya, bahkan ia tidak memiliki hak terhadap dirinya sendiri, semua mutlak
milik tuannya. Makanya, budak bisa diperjualbelikan, bahkan kalau perempuan
bisa dijima’ oleh tuannya tanpa melalui pernikahan. Di zaman modern sekarang,
istilah perbudakan seperti ini sudah tidak ada. Meskipun ada kegiatan jual beli
manusia, itu bukan bagian dari perbudakan, tapi tanda keserakahan manusia yang
penuh kesesatan.
Ketiga; Lelaki
Lelaki yang
dimaksud adalah lelaki secara fisik, bukan psikis. Makanya lafadz yang dipakai adalah
“الذكر” bukan
menggunakan lafadz “الرجل”. Maka bagi yang bukan laki-laki, baik
perempuan atau banci, secara otomatis tidak wajib melaksanakan shalat Jum’at.
Syariat shalat
berjama’ah, termasuk dalam shalat Jum’at, hanya diperuntukkan bagi kaum lelaki.
Akan tetapi, bagi kaum perempuan tua yang sudah tidak menarik lagi dalam
pandangan mata, boleh mengikuti shalat berjama’ah di masjid, namun tidak bagi
perempuan muda yang menarik pandangan. Shalat perempuan di dalam kamar di
rumahnya lebih dari pada shalat berjamaah di masjid. Ini untuk lebih menjaga
kehormatan perempuan.
Keempat; Bermukim
Maksud dari bermukim
adalah tinggal sementara di sebuah tempat yang bukan dijadikan sebagai tempat
tinggal seumur hidupnya. Bermukim yang dikenakan kewajiban adalah bermukim di
tempat pelaksanaan shalat Jum’at atau di tempat sekitarnya yang terjangkau oleh
suara nida’ atau adzan. Dan lagi, bermukimnya bertepatan dengan waktu pelaksanaan
shalat Jum’at. Sedangkan bermukim di luar ketentuan tersebut tidak mendatangkan
kewajiban apa-apa terkait dengan shalat Jum’at.
Kelima; Sehat
Orang yang sakit
tidak diberi kewajiban melaksanakan shalat Jum’at sesuai kesepakatan para
ulama. Berbeda halnya dengan orang buta, maka ulama terdapat banyak perbedaan.
Imam Syafi’ie dan Imam Malik tetap mewajibkan selama ada orang yang
menuntunnya. Kemudia diperinci lagi oleh sebagian pengikutnya, apabali gratis
wajib, apabila harus mengongkos maka tidak wajib.
Orang yang sakit
dan semacamnya, apabila hadir (berada di rumah) pada waktu pelaksanaan shalat
jum’at, atau pada waktu tergelincirnya matahari (waktu masuk shalat Jum’at),
maka wajib mengikuti shalat Jum’at selama tidak mendatang masyaqqah atau
kemadarotan, baik ketika shalat Jum’at atau pada saat masih menunggu
pelaksanaan Shalat Jum’at. Bahkan, meskipun sudah melakukan takbiratul ihrom,
kemudian sakitnya menjadi bertambah, seperti keluar darah dari lukanya, maka
boleh menghentikan shalatnya dan meninggalkan masjid.
Keenam; Mendengar
Nida’ (Adzan)
Syarat ini hanya
khusus bagi orang-orang yang bertempat tinggal (mustauthin) di luar (sekitar)
perkampungan yang melaksanakan shalat Jum’at. Misalnya, di kampung A, mencukupi
syarat untuk melaksanakan shalat Jum’at, sedangkan di kampung B, C, D dan E,
yang ada di sekitar kampung A, belum memenuhi syarat sehingga tidak bisa
melaksanakan shalat Jum’at.
Maka orang-orang
yang tinggal di kampung B,C,D dan E tersebut, tetap wajib mengerjakan shalat
Jum’at bersama di kampung A, apabila mendengar suara nida’ (panggilan) atau
adzan. Dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Adzan tersebut
harus dilakukan oleh orang yang punya suara paling tinggi yang tinggal di
kampung A, secara alamiah tanpa menggunakan speaker (pengeras suara).
2. Adzan dilakukan
di tepi batas kampung A, sesuai dengan posisi masing-masing kampung yang
mengelilinginya. Kalau kampung B berada di sebelah barat, maka adzan harus
dilakukan di batas barat kampung A, yang berarti juga di batas timur kampung B.
3. Perkampungan
yang berada di sekitar kampung A harus berada pada tanah yang sejajar (lapang),
tidak dalam dalam struktur geografis yang berbeda, satunya tinggi dan satunya
lagi rendah. Misalnya, kampung B yang ada di sebelah barat berada di atas
bebukitan (datarang tinggi), sementara kampung C yang berada di sebelah timur,
berada dalam dataran rendah.
Karena faktor
ketinggian, meskipun jaraknya lebih dekat, orang-orang di dikampung B tidak
mendengar nida’ dari pinggir batas kampung A. Sebaliknya, meskipun berjarak
jauh, karena faktor kerendahan, orang-orang yang tinggal di kampung C, masih
bisa mendengar nida’ dari batas kampung A. Maka yang wajib shalat Jum’at adalah
orang-orang yang tinggal di kampung B, karena jika berada sejajar dengan
kampung A, maka mereka dapat mendengar nida’.
4. Adzan yang
dikumandangkan harus dalam kondisi iklim dan cuaca yang tenang. Tidak ada suara
keramaian yang sedang berlangsung dan angin sedang tidak ribut. Kalau cuaca
sedang tidak normal, seperti angin kencang atau ramai dengan suara-suara yang
lain, maka adzan tidak mencukupi syarat untuk dilakukan. Maka praktiknya yang
paling tepat adalah di malam hari dalam suasana yang tenang.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian
di atas, maka terkait dengan pelaksanaan shalat Jum’at, dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
1. Wajib
dan terhitung; yaitu orang-orang yang memenuhi syarat yang lima (nomor 1-5),
selain syarat yang nomor enam atau terakhir;
2. Wajib
tapi tidak terhitung; yaitu orang-orang yang bermukim di luar rumahnya, seperti
orang yang mencari ilmu atau bekerja di perantauan. Mereka semua wajib shalat
jum’at meskipun tidak masuk dalam hitungan 40 orang. Termasuk pula orang-orang
yang tiggal di perkampungan yang belum bisa melaksanakan shalat Jum’at, tapi
mendengar nida’.
3. Tidak
wajib tapi terhitung, yaitu orang-orang yang sakit (dari penduduk setempat) yang
tetap ikut shalat Jum’at.
4. Tidak wajib dan tidak terhitung, yaitu
orang-orang sedang perjalanan, budak dan perempuan dan anak-anak yang belum
mukallaf.
EmoticonEmoticon