sumber: tubasmedia.com |
Pendahuluan
Pancasila
sebagai ideologi Negara, pada tataran praktisnya, telah terkontaminasi oleh berbagai
ideologi Barat yang sekuler. Munculnya globalisasi dengan berbagai ideologi
yang mengirinya telah berhasil memasuki ruang-ruang sub sosioikultural dan
tanpa sadar telah menjadi bagian tersembunyi yang sulit dihapus.
Lebih
jauh, globalisasi dan modernisasi itu tidak hanya bercampur baur dengan, tetapi
juga memperkosa kemurnian nilai-nilai sosial-politik, kebudayaan, pendidikan
dan agama (Alfya dalam Hasanah 2003). Dampak yang paling dominan adalah
menguatnya arus materialisme dan individualisme yang mengesampingkan pandangan yang
bernuansa spritual dan humanis.
Masih
dalam jalur analisis di atas, Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang
dihadapkan pada pilhan dilematis, khususnya di bidang politk, yang tidak serta
merta harus memepertahankan budaya politik lama (seperti gotong royong), tetapi
juga dihadapkan dengan konsep baru yang serba liberal-individual. Pacasila di
sisi ini, hanya akan menjadi bagian “dongeng lama” yang kurang memiliki peranan
dalam menentukan arah pembangunan politik bangsa ke depan.
Sebab
sejauh ini, demokrasi pancasila yang sering diteriakkan di atas panggung
perpolitikan Indonesia kontemporer hanya bisa menyisakan gaung yang sulit
diterjemahan dalam kehidupannyata. Pancasila seolah kehilangan pamornya dalam
mengaktualisasikan dirinya sebagai roh spritual dinamika politik Indonesia.
Disamping
memang ada beberapa perilaku oknum politikus nasional maupun lokal, yang yang
tidak beretika pancasila, munculnya gerakan ekstrimis keagamaan yang menolak
pancasila, juga turut membuat suasana kebangsaan semakin runyam. Rumusan final
para pendahulu tentang lima dasar berbangsan dan bernegara, yang memiliki
muatan spitual sangat tinggi, sudah tampak mulai mengalami degradasi nilai
dalam tubuh generasinya sendiri.
Spirit
Pancasila dan Dilema Politik Indonesia
Politik
(praktis) secara sederhana adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
permainan kekuasaan, penggunaan dan upaya untuk mempertahankannya. Di Indonesia,
politik dalam kaitannya dengan peraihan kekuasaan selalu dianalogikan dengan
uang. Kekuasan sering ditafsir sebagai saudara kembar uang. Ingin berkuasa
harus rela mengeluarkan jutaan dolar untuk membeli suara rakyat.
Praktik
politik uang di Negara kita sudah jadi rahasia umum yang berakar kuat di
seluruh segmen birokrasi, dari pusat ke daerah. Sehingga membentuk satu
lingkaran hitam yang sulit diberantas oleh kekuatan apapun. Pemilu langsung
semakin membuka jalan bagi rakyat kebanyakan untuk ikut serta berpesta uang, yang
diplintir sedikit dengan sebutan pesta demokrasi.
Pancasila
sebagai roh (spiritual) dan ideologi kebangsaan, mengalami semacam penyusutan
makna sehingga hanya menjadi landasan teori di atas kertas. Padahal, kalau mau
jujur pancasila mengandung sistematika filsafat dan spirit kebangsaan yang
begitu luas dan penuh dengan nilai-nilai agung. Seperti yang akan kita bahas
satu persatu di bawah ini;
Pertama, Ketuhanan
Sila
pertama pacasila merupakan satu landasan keagamaan yang mewajibkan seluruh
masyarakat Indonesia dalam berbagai kegiatannya, termasuk politik, harus
dilandasi oleh rasa ketuhanan yang murni. Nilai ketuhan mempunyai peran penting
dalam membentuk kepribadian yang bertakwa dan bermoral yang sangat penting
untuk dijadikan landasan dalam berpolitik.
Politik
tidak bisa melahirkan kesejahteraan rakyat apabila tidak dilandasi dengan spirit
ketuhanan yang terdapat dalam semua agama. Sebab peran agama (spiritual ketuhanan)
di sini, akan membuat politik jadi lebih santun, bertanggung jawab dan bermakna
(Syamsuddin dalam Sunoto, 1989). Apabila Tuhan dikesampingkan dalam persoalan
politik, maka lahirlah apa yang disebut dengan sekularisme.
Kedua, Kemanusiaan
Esensi
dari setiap politik adalah terciptanya masyarakat sejahtera, atau civil
society yang merupakan idaman semua Negara. Sehingga perlu diberdayakan
sebuah sikap politik humanis yang memihak kepada terpenuhinya hak-hak dasar
kemanusiaan (Hazairin,1985). Politik humanis merupakan kerangka ideologi
politik yang mencoba memberikan terobosan pembangunan yang berbasis kerakyatan.
Sudah
banyak para politikus kita yang menawarkan platform partai atas nama
kepentingan kemanusian, walaupun pada praktiknya justru meruntuhkan nilai-nilai
kemanusiaan itu sendiri. Munculnya mental korupsi para birokrat politik kita di
berbagai instansi merupakan bukti akurat yang terhadap penyelewengan salah satu
nilai kemanusiaan yang sangat merugikan, terutama rakyat kecil yang kurang
punya kesempatan untuk menikmati hidup yang wajar.
Ketiga, Persatuan
Negara
adalah milik semua orang, semua warga yang hidup di dalamnya. Walaupun Negara
punya salah sifat monopoli, tapi bukan berarti Negara berhak berbuat
diskrimiasi dan tidak adil terhadap sebagian kelompok. Politik yang dijalankan
oleh para pemangku amanah Negara harus selalu bertujuan menjaga keutuhan Negara
dan meratakan hasil pembangunan ke berbagai daerah nusantara.
Politik
bukan hanya untuk golongan tertentu. Tapi politik merupakan representasi dari
semua orang. Jelasnya, politik harus bisa mewadahi aspirasi rakyat, mayoritas maupun
minoritas, yang umumnya sering terabaikan. Selama ini, nuansa politik Indonesia
hanya mewakili setiap partai yang telah mengantarkan pada kursi jabatan
tertentu, bukan untuk semua kesatuan warga Indonesia.
Perseteruan
antar kelompok yang terinfeksi SARA, sebanarnya dapat diatasi dengan satu
kekuatan politik yang menyatukan. Satu gerakan politik nasional yang mampu
memberikan ruang yang proporsional dalam setiap kepentingan bangsa yang
majemuk, sehingga menutup pintu munculnya kecemburuan sosial. Sayangnya,
politik yang muncul ke permukaan justru ditengarai hanya untuk kepentingan
orang-orang tertentu saja, sehingga jadi biang pemecahbelah persatuan.
Keempat, Kerakyatan
Sila
kerakyatan merupakan inti semangat politik Indonesia untuk mewujudkan Negara
yang demokratis. Tidak akan terwujud tatanan Negara yang memihak rakyat banyak
apabila falsafah kerakyatan tidak jadi roh perjalanan politik praktis yang
direalisaikan setiap partai yang berkuasa.
Pacasila
di sini memberikan nuansa fitrah politik untuk kembali ke makna asalnya,
membela kepentingan rakyat mayoritas, yang umumnya sering tertindas
(baca:ditindas). Negara memang punya potensi untuk berbuat diskriminatif, tapi
nilai-nilai pancasila, terutama sila ke empat, seharusnya mampu menjadikan
Negara yang menyejahterahkan rakyat.
Kelima, Keadilan
Keadilan
dalam berpolitik akan menentukan terhadap keberhasilan dalam menciptakan civil
society di tengah menguatnya arus liberalisasi politik. Liberalisme selalu
menuntut pemenuhan hak dasar setiap orang oleh Negara, atas nama kebebasan individual, yang selanjutnya melahirkan pasar
bebas. Sementara kepentingan bersama, terutama rakyat kebanyakan, berada di
ruang yang marjinal.
Asumsi
inilah yang membuat Karl Mark, kemudian diikuti oleh kaum Marxis, menolak
terhadap berdirinya sebuah Negara. Selama masih ada Negara, selama itu pula
akan terjadi penindasan. Keadilan akan ditentukan oleh Negara, sedangkan rakat
banyak, yang miskin, harus tunduk pada keadilan yang telah ditentukan oleh Negara.
Adil
menurut Negara, belum tentu adil menurut rakyat. Keadilan Negara terkadang
disusupi oleh kepentingan asing dan golongan tertentu, tanpa mempertimbangkan
hak-hak rakyat secara serius. Sehingga yang terjadi di tingkat grass root,
adalah ketidakadilan yang nyata. Politik anti keadilan inilah yang sering
muncul di panggung politik Indonesia kontemporer.
Krisis
Pancasila: Sebuah Renungan
Pancasila
sebagai ideologi bangsa sebenarya merupakan satu kekuatan spitualitas politik
yang memuat lima dasar filsafat kebangsaan yang lebih mendekatkan pada
tercapainya sebuah Negara Kesejahteraan. Aka tetapi, mental individuialis dan
fanatisme kelompok para pelaku politik kita telah menjadikan Pancasila sebagai
ideologi yang terbuang (Pamuji, 1995).
Sehingga
pancasila juga mengalami krisis nilai. Dalam artian, Pancasila tidak punya
banyak peran dalam menentukan kebijakan politik praktis setiap partai yang
berkuasa, tetapi sekedar jadi topeng platform partai yang jarang dilabuhkan
dalam tataran praktisnya. Semoga kita masih memiliki politikus yang ikhlas
karena Allah dan patuh menjalankan spiritual Pancasila demi Negara
Kesejahteraan. Wallahu A’lam Bisshawab.
Ares
Tengah, April 2010
EmoticonEmoticon