sumber: osolihin.net |
Pendahuluan
Agama Islam sebagai risalah terakhir
yang diturunkan Allah SWT kepada seluruh umat manusia merupakan agama yang paling
sempurna dalam berbagai dimensinya. Pemahaman yang utuh dan luas terhadap Islam
akan mampu membuka cakrawala pemikiran yang handal dan berdaya guna dalam
menghadapi era mendatang.
Salah satu persoalan yang penting yang harus dipahami oleh semua generasi Muslim adalah masalah hukum-hukum formal Islam yang sering disebut dengan “ilmu fiqih”. Islam sebagai agama jelas memerlukan seperangkat humu-hukum yang bisa dijadikan sebagai standart perilaku umatnya. Hal ini tidak berarti sebuah pembatasan atau merampas kebebasan berkarya, tetapi sebuah upaya untuk menciptakan sebuah tatanan sosial yang adil dan saling menguntungkan semua pihak yang ada di dalamnya. Karena logikanya, tak ada kebebasan mutlak yang beraku bagi seseorang, yang ada hanya kebebasan yang bercampur ketidakbebasan.
Apalagi manusia punya
kecenderungan untuk berbuat jahat. Sebagaimana di katakan oleh Thomas Hubbes
bahwa manusia punya kecenderungan untuk memangsa manusia lainnya. Sehingga
semakin niscaya akan adanya perangkat peraturan formal yang membatasi tingkah
laku manusia sebagai makhluk individu, sosial dan religi. Dalam hal ini, Islam
tampil sebagai agama yang memiliki
perangkat paling lengkap dalam mengatur umatnya. Dalam agama Islam terdapat
ilmu fiqih yang berbicara khusus masalah hukum-hukum formal Islam lengkap
dengan ruang aplikasinya. Sebagaimana akan dipaparkan di bawah ini:
Memahami Fiqih Islam dan
Aplikasinya
Secara definitif, fiqih
memiliki arti yang luas, yakni pemahaman. Pengertian pemahaman dalam istilah
ini merupakan upaya mempelajari agama Islam (agama selain Islam tidak punya
fiqih, hanya punya aturan-aturan moral) dari berbagai arah sehingga mampu
menciptakan pemahaman yang utuh dan konkret . Hal ini berarti, kesempurnaan
agama Islam dipengaruhi oleh berbagai keilmuan yang melingkupinya bukan hanya
ditentukan oleh satu ragam ilmu saja (dari asumsi ini kami kurang setuju akan
adanya pemilahan ilmu agama dan ilmu umum).
Akan tetapi, pengertian fiqih
mulai mengalami penyempitan makna pasca munculnya imam madzhab di akhir abab ke
2 H dan terus berlangsung sampai sekarang Abu Zahrah, 1943). Sehingga pemakaian
istilah fiqih hanya berlaku terhadap pemahaman kontruksi formal hukum-hukum
Islam yang terdiri dari lima
area hukum: wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Selain dari di atas, bukan
termasuk kategori fiqih (baca: memahami) Islam yang punya pengaruh kuat
terhadap keberadaan Islam ke depan.
Peristiwa tersebut di atas
bukanlah sebuah kesalahan final yang harus terus diperbincangkan. Persoalan
yang terpenting bagi kita adalah bagaimana menciptakan ruang aplikasi fiqih
Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang islami bukan sekedar
penganut agama Islam. Sebab belakangan ini, fiqih sering dipahami terpisah
dengan laju perkembangan masyarakat, sehingga dalam kasus-kasus tertentu timbul
pertentangan tulen antara fiqih dan dinamika masyarakat itu sendiri.
Dalam kasus ini, penulis ingin
menekankan satu hal bahwa, ilmu fiqih berhadapan dengan segala tingkah laku
manusia yang dilakukan secara sadar (kehendak sendiri), tidak sedang lupa atau
terpaksa (Ashshidqi, 1974). Dan ini menyiratkan satu pemahaman bahwa rung gerak
dari hukum-hukum fiqih adalah segala dinamika sosial yang terus berlangsung
secara berkesinambungan, bukan sekedar masalah ritual. Oleh karena itu fiqih
terkait erat dengan budaya dan peradaban masyarakat.
Fiqih Sosial: Konrtuksi
Peradaban Islam
Seperti yang telah
diketengahkan di depan bahwa fiqih yang berbicara masalah perilaku manusia yang
konkret, bisa diamati, dan dilakukan secara sadar, bukan karena dipaksa oleh
kekuatan tertentu, atau lupa. Dari sini, fiqih berkaitan langsung dengan segala
bentuk perilaku sesorang, baik perilaku individual, sosial dan ritual.
Pemisahan fiqih dari ketiga area tersebut jelas sebuah penyimpangan yang tidak
bisa ditoleransi, karena hal itu akan semakin mempersempit ruang aplikasi hukum
Islam (baca: fiqih).
Munculnya sekularisasi di abad
modern ini, tidak bisa disangkal, merupakan salah satu upaya kelompok tertentu
(Barat) untuk memisahkan agama dari kehidupan sosial menjadi sekedar ajaran
individual (Shihab, 1994). Masalah keyakinan, ibadah dan akhlak seolah menjadi
urusan pribadi yang tak ada kaitannya dengan kebudayaan masyarakat.
Padahal, pengebirian agama
menjadi sekedar kegiatan privat, dengan dalih sekularisasi, akan berimplikasi
akan munculnya sebuah tatanan hidup (peradaban) dengan hanya berlandaskan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang liar, tanpa pertimbangan moral. Lihat saja
bagaimana kelompok modernis Barat yang dinilai memiliki peradaban paling maju
terhantam kegelisahan yang tak kunjung selesai akibat melupakan tradisi dan
agama. Dan perhatikan pula bagaimana dulu Islam membangun peradabannya di Baghdad
(Irak) dan Cordova (Spanyol) dengan tidak hanya berlandaskan ilmu pengetahuan
dan teknologi tetapi juga dengan nilai-nilai agama, yang salah satunya adalah
hukum fiqih.
Berdasarkan asumsi ini, Islam
dengan fiqihnya berusaha membangun sebuah budaya masyarakat yang rahmatan
lil alamin, sebuah peradaban yang utuh dan berdaya guna bagi masa depan
lingkungan, baik lingkungan sosial dan lingkungan alam. Islam tidak melarang kemajuan,
bahkan Islam sangat menganjurkan perubahan dan pengembangan dari masa ke masa.
Akan tetapi pola perkembangan yang diinginkan oleh Islam bukan sekedar
perkembangan yang tanpa roh, perubahan yang meninggalkan kewajiban, kemajuan
yang melupakan pertimbangan moral keagamaan.
Oleh karena itu, Islam
memberikan kontruksi formal dalam setiap perubahan budaya dan dalam membangun
sebuah peradaban sosial. Segala dinamika masyarakat tidak boleh bertentangan
hukum-hukum formal agama. Silahkan ciptakan televisi dan internet sebagai alat
komunikasi, tapi jangan sampai jadikan kedua alat komunikasi tersebut sebagai
sarana menyebar fitnah, pornografi dan hal lain yang dilarang oleh agama.
Format peradaban sosial yang
dicita-citakan oleh Islam adalah sebuah pranata kehidupan yang mampu
mngantarkan manusia pada kebahagiaan dunia akhirat, bukan sekedar kesenangan
semu dunia yang mudah menghilang.
Muara, Mei 2008
EmoticonEmoticon