Pluralisme dan Kejahatan Sosial

sumber: arrahmahnews.com
Prolog
Perbedaan sosial (pluralisme) pada hakikatnya merupakan fitroh yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni (Misrawi dalam Suhanda, 2010). Karena bentuk aktual dari pluralisme adalah mengakui adanya perbedaan serta menghargai keragaman sosial sebagai kehendak Tuhan (sunnatullah) yang termanifestasi ke setiap jengkal historisitas kebangsaan.

Konflik yang terjadi di tengah kehidupan sosial mengiringi tumbuh dan berkembangnya pluralisme bukan berarti mustahil untuk diakomodasi. Sebenarnya, bukan keanekaragaman (pluralitas) yang menjadi sebab terjadinya konflik, tetapi paradigma yang digunakan oleh komunitas tertentu dalam memahami pluralisme. Sebab pluralisme merupakan salah satu media untuk mencapai kehidupan yang serasi dan harmonis. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa keragaman dalam kehidupan sosial selalu terdapat kemungkinan bagi terbukanya jalur komunikasi yang dialogis (Zubaedi, 2007).

Pernak-pernik Pluralisme
Menguatnya pluralisme di tengah-tengah konstelasi sejarah keindonesia masa kini sering kali menuai banyak kontroversi yang memungkinkan  berakhir pada desintegrasi bangsa. Pro kontra di sekitar pluralisme selalu diwarnai dengan usaha saling merendahkan dan menyudutkan pihak lain, bukan dijadikan sebagai media untuk menemukan titik kesamaan dari beragam paradigma yang berbeda. Pluralisme lahir sebagai ideologi impor yang dibawa globalisasi sehingga menyimpan persoalan yang kompleks dan urgen, oleh karena itu, pemahaman terhadap pluralisme secara komprehensif harus segera dilakukan, agar tidak menimbulkan salah tafsir di kemudian hari.

Sesuai dengan mainstream yang berkembang dalam ranah sosial, istilah plural, pluralitas dan pluralisme merupakan satu kesatuan epistimologis yang sulit dibantah. Pada dasarnya, ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berbeda meskipun jarang sekali masyarakat dapat menemukan titik persamaan dan perbedaannya.

Plural adalah majemuk atau banyak, sedangkan pluralitas digunakan untuk menunjuk pada fakta adanya perbedaan, dan pluralisme menunjuk pada opini atau perspektif tertentu dalam memandang realitas plural yang ada (Lubis, 2001). Tetapi esensi pluralisme berasal dari dua kata yaitu plural dan isme yang berarti paham atau aliran. Maka konklusi dari dua penggalan kata tersebut dapat dipahami bahwa pluralisme adalah suatu paham yang mengatakan bahwa perbedaan merupakan anugerah Tuhan yang harus dilestarikan.

Berdasarkan deskripsi di atas, M. Shiddiq al-Jawi (2011) menggambarkan secara detail mengenai muatan pluralisme, yaitu pertama, deskripsi realitas bahwa di sana ada keanekaragaman; dan kedua, adanya perspektif atau pendirian filosofis tertentu dalam menyikapi realitas keanekaragaman agama yang ada.

Sedangkan Josh McDowell (dalam A. Sirry, 2003) membagi pluralisme menjadi dua macam, pertama, pluralisme tradisional (social pluralism) yang kemudian disebut “negative tolerance”. Pluralisme ini didefinisikan sebagai “respecting other belief and practices without sharing them” yang berarti menghormati keimanan dan praktik ibadah pihak lain tanpa ikut serta bersama mereka. Kedua, religious pluralism yang disebut dengan “positive tolerance” yang mengatakan bahwa “every single individual’s beliefs, values, life style and truth claim are equal” yang memiliki arti setiap keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran dari setiap individu adalah sama (equal).

Kacung Marijan (2011) menegaskan bahwa bangsa Indonesia bukan saja plural, kelahiran Negara ini memang tidak bisa dipisahkan dari keragaman baik dari segi etnisitas, kultural maupun agama. Dalam konteks semacam itu, bangsa Indonesia tidak saja harus berkomitmen untuk menghargai dan mengakui perbedaan-perbedaan (proeksistensi), tapi juga bisa hidup berdampingan dengan melakukan kerja sama (koeksistensi). Sehingga pluralisme benar-benar bisa ditampilkan dalam bentuk yang damai dan santun, yang pada gilirannya bisa menjadi landasan hidup bersama dalam satu kesatuan kebangsaan.

Akar Kejahatan Sosial
Pluralitas sosial adalah fakta sosial yang begitu niscaya, imanen dan tak terbantahkan. Ia hadir sebagai manifestasi kuasa Tuhan, untuk keharmonisan hidup manusia. Kata ‘untuk saling mengenal’ yang tersurat dalam al-Quran menunjukkan isyarat yang jelas ke arah itu. Tuhan ingin menguji ketangguhan rohani hambaNya, sehingga Dia tidak menjadikan mereka sebagai umat yang satu, tapi sangat beragam.

Jelas sudah: pluralitas sosial bukan landasan dan motor penggerak, ditinjau dari berbagai arah, untuk melahirkan pertengkaran dan kekerasan yang menyangkut SARA. Kekerasan terjadi bersumber dari paradigma yang salah terhadap perbedaan di satu sisi, dan ketidakadilan struktural di sisi lain. Disamping pula ada konspirasi gelap demi sebuah kepentingan dan kerakusan tertentu yang bersilang sengkarut dengan “keinginan untuk menguasai”.

Dari situlah akan muncul beragam kejahatan sosial, mulai tingkat terendah sampai tertinggi seperti terorisme dan kejahatan struktural yang seringkali luput dari perhatian. Berawal dari paradigma yang salah terhadap perbedaan, kemudian disambut oleh ketidakadilan struktural, akan menjadi jalan lapang menuju lahirnya tindak kejahatan. Ukuran kejahatan ini adalah merugikan, baik menyangkut orang, fasilitas maupun lingkungan sekitar.

Paradigma adalah hal utama yang menjadi akar kejahatan seseorang, karena ia berada di dalam, intern. Paradigma tidak hanya memerlukan seperangkat pengetahuan teoritis dan empirik, tapi juga kejernihan hati dan kesabaran. Paradigma yang salah sejalan dengan tindakan yang salah. Memahami perbedaan sebagai anugerah Tuhan dan kekayaan hidup akan membuat tindakan seseorang yang beriman menjadi lebih bermanfaat dan maslahat.

Epilog
Perbedaan sosial bukanlah alasan yang benar dan baik untuk dijadikan sebagai landasan perkelahian, kecurigaan, kekerasan dan segala kejahatan sosial lainnya. Bagaimana mungkin meramu hidup tanpa perbedaan (pluralitas)? Sedangkan hidup itu sendiri merupakan pilihan yang di dalamnya Allah sediakan aneka ragam warna untuk dipilih. Belajarlah pada pelangi. Paduan warnanya yang beraneka, mampu melahirkan harmoni bagi setiap orang yang memandangnya. Wallahu A’lam!



Peara, 15 November 2011

(Artikel ini disampaikan pada acara PKD IPNU Kecamatan Dungkek)



Previous
Next Post »