Sekedar Perkenalan Singkat dengan Al-Kindi

sumber: republika.co.id
Persoalan filsafat sampai kini masih menjadi persoalan yang cukup segar untuk selalu dibicarakan, dipahami dan dilestarikan dari generasi ke generasi. Meskipun masih terdapat dalam kalangan muslim tertentu,  sikap apatis terhadap eksisitensi filasafat sebagai ilmu (yang bermanfaat), bahkan ada yang terang-terangan menolak kehadiran filsafat di tengah-tengah lingkaran sistem pendidikan Islam.

Hal ini, menurut beberapa tokoh, adalah pengaruh tidak baik dari polemik pemikiran al-Ghazali yang menyerang beberapa tokoh dan pemikiran filsafat, khsusnya filsafat spekulatif yang dikembangkan oleh Ibnu Sina dan al-Farabi sebagai sebuah tafsir lanjutan dari spekulasi Neo-Platonisme.

Akan tetapi, di sisi lain, sejarah juga membuktikan betapa kehadiran filsafat di dunia muslim sebagai dampak logis hasil dialog mereka dengan peradaban Yunani, Romawi dan Persia telah meberikan sumbangan besar terhadap pemikiran dan peradaban Islam yang begitu memukau mata dunia, baik di Baghdad (Irak) maupun di Cordova (Spanyol). Pemikiran filsafat menempati ruang tersendiri dalam kegiatan pendidikan Islam masa lalu yang, karena keterbatasan internal dan (mungkin) eksternal, kegiatan tersebut telah mulai lari dari kampung halaman kita sendiri.

Filsafat, di masa umat Islam kontemporer, telah menjadi barang asing yang kurang bernilai dan tidak begitu diminati sepenuh hati. Hal ini jelas adalah kelemahan mendasar dan kronis, setidaknya menurut hemat penulis, yang segera membutuhkan terapi penyembuhan secara insten dan menyeluruh.

Gairah untuk kembali menghidupkan akal pikiran dan renungan filosofis generasi muslim di masa sekarang dan yang akan datang tidak boleh tidak harus dimulai dari pengenalan awal terhadap sejarah, tokoh-tokoh dan pemikiran filsafat ulama masa lalu.

Tradisi filsafat yang telah bertahan berabad-abad di sejarah lampau umat Islam sungguh sangat disayangkan bila ditinggalkan begitu saja. Oleh karena itu, salah satu kewajiban setiap individu generasi muslim adalah memabgnkitkan kembali tradisi tersebut di masa kini, tentunya dengann sedikit celupan warna yang berbeda sesuai dengan kondisi sosiogeografis kita masing-masing.

Sudah waktunya untuk keluar dari kejumudan berpikir yang disebabkan oleh budaya taqlid dan ikut-ikutan yang penyebab utamanya adalah kemalasan berpikir. Sedangkan kemerkaan berpikir hanya dapat ditemukan dakam naungan payung filsafat, dengan segala hal yang terkait, termasuk mengenali para tokohnya.

Salah satu tokoh filsafat muslim yang perlu kita pahami bersama adalah al-Kindi. Ia dikenal sebagai tokoh pertama yang asli berkebangsaan Arab yang memulai kegiatan filsafat di masa khalifah al-Ma’mun dari dinasti Abbasiyah. Mempelajari filsafat al-Kindi dengan segala ragam pemikirannya dipastikan dapat memberikan sedikit rangsangan untuk kembali menyemarakkan kegiatan filsafat dalam dunia muslim yang sejak runtuhnya Baghdad terus mengalami kemunduran pemikiran.

Maka perbincangan di seputar filsafat merupakan sebuah keniscayaan yang harus selalu dikembagkan dari masa ke masa. Khusnya filsafat al-Kindi sebagai orang pertama yang membuka pintu gerbang kegiatan filsafat di dunia muslim masa silam.

Biografi Singkat al-Kindi
Al-Kindi, yang dalam buku-buku sejarah filsafat Islam dicatat sebagai filosof pertama, adalah keturunan dari Bani Kindah, suatu kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman (al-Ahwaniy, 1965). Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu al-Shabbah ibnu Imran ibnu Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi. Ia hidup dalam lima penguasa atau khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad, mulai dari al-Amin (809 M - 813 M), al-Ma’mun (813 M – 833 M), al-Mu’tashim (833 M – 842 M), al-Watsiq (842 M – 847 M) dan al-Mutawakkil (847 M – 861 M).

Terdapat banyak versi (tidak ada kesepakatan sejarah) mengenai waktu atau tanggal dan tahun kelahiran dan kematian al-Kindi. Akan tetapi beberapa ahli sejarah menyepakati bahwa al-Kindi lahir pada tahun 185 H yang bertepatan dengan 801 M, meskpun mereka tetap menemukan banyak kesulitan seputar tahun kematiannya. Ia diahirkan di Kufah dari keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, al-Asy’as ibnu Qais adalah seorang sahabat nabi Muhammad saw yang gugur sebagai syuhada bersama Sa’ad ibnu Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum Muslimin dan Persia di Irak.

Sementara itu ayahnya, Ishaq ibnu al-Shabbah adalah gebenur di Kufah pada masa pemerintahan al-Mahdi (775 M – 785 M) dan Ar-Rasyid (786 M – 809 M). Ayahnya meninggal sejak Ia masih usia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik (Hamdi, 2004)

Mengenai model pendidikan dan guru-guru al-Kindi sangat sulit sekali mendapatkan informasi tentang itu semua secara menyeluruh dan lengkap. Hanya saja keterangan yang dibukukan sampai sekarang, ia pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi Islam.

Dan selanjutnya, selahi ia masih muda, memilih tinggal di Bagedad, ibu kota daulah Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu, terutama pada masa khalifah al-Ma’mun dengan Baitul Hikmahnya.

Oleh karena itu, dengan kerajinan dan kejeniusan otaknya, tidaklah heran apabila ia dapat menguasai ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik, meteorologi, optika, kedokteran, matematika, filsafat dan politik. Penguasaannya terhadap filsafat dan disiplin ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof terkemuka.

Meskipun di era sebelumnya juga telah ada bibit-bibit pemikiran filasafat, terutama dalam bidang teologi, seperti yang dikembangkan oleh beberapa tokoh mu’tazilah, seperti Hudzail Al-Allaf (Fakhry, 2001), akan tetapi, sistematika filsafat secara lebih lengkap dan tertulis dilakukan pertama kali oleh al-Kindi.

Sedangkan mengeai waktu kematian al-Kindi sama sekali tidak terdapat satu kesepakatan di antara beberapa sumber sejarah. Mustafa Abd al-Raziq cenderung mengatakan rahun wafatnya al-Kindi adalah 252 H, sementara Massignon menunjuk tahun 260 H, suatu pendapat yang diyakini oleh Hendry Corbin dan Nellino. Selain itu, Yaqut al-Himawi megatakan bahwa al-Kindi wafat sesudah berusia 80 tahun atau lebih sedikit (Zar, 2004)

 Karya Tulis Al-Kindi
Al-Kindi adalah salah satu orang yang dipercaya oleh al-Ma’mun, yang mamang memiliki kegandrungan kuat terhadap ilmu pengetahun dan filsafat, untuk melakukan kegiatan penerjemahan bersama Hunain bin Ishaq dan lainnya di bawah naungan Baitul Hikmah. Selain itu, ia juga termasuk seorang yang kreatif dan produktif dalam kegiatan tulis menulis. Tulisannya cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu.

Akan tetapi, amat disayangkan, karena kebanyakan karya tulis al-Kindi telah hilang sehingga sulit menjelaskan berapa jumlah semua karya tulisnya. Informasi yang muncul belakangan ini memberikan suatu kegembiraan tersendiri bahwa sebagian dari risalah al-Kindi yang hilang tersebut ditemukan kembali. Sebuah ikhtisar yang berisi 25 risalah al-Kindi ditemukan oleh Ritter di Istambul, sementara bebrapa risalah pendeknya yang lain ditemukan di Aleppo (Zar, 2004)

Menurut George Atiyeh karya-karya tulis al-Kindi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan mencapai sebanyak 270 risalah. Risalah-risalah itu, baik oleh Ibnu Nadim maupun Qifthi, dikeompokkan dalam 17 kelompok, yaitu 1. Filsafat, 2. Logika, 3. Ilmu hitung, 4. Globular, 5. Musik, 6. Astronomi, 7. Geometri, 8. Sperikal, 9. Medis, 10. Astrologi, 11. Dialektika, 12. Psikologi, 13. Politik, 14. Meteorologi, 15. Dimensi, 16. Benda-benda pertama, dan 17. Spesies tertentu logam dan kimia.

Sementara untuk lebih jelas, di bawah ini akan penulis kemukakan bebrapa karya al-Kindi :
1.  Fi al-falsafah al-Ula,
2.  Kitab al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Falsafah,
3.  Risalah ila al-Ma’mun fi al-‘Illat wa Ma’lul,
4.  Risalat fi Ta’lif al-A’dad,
5.  Kitab al-Falsafat at-Dakhilat wa al-Masail al-Manthoqiyyat wa al-Mu’tashah wa ma Fauqa at-Thabi’iyyat,
6.  Kammiyat Kutub Aristoteles,
7.  Fi al-Nafs.

Cuplikan Pemikiran Filsafat Al-Kindi
Sebagaimana telah tersurat dalam paparan di atas bahwa lapangan pemikiran filsafat al-Kindi sangat luas sekali. Sehingga tidak mungkin bagi penulis untuk menuliskan semua pemikran al-Kindi tersebut. Oleh karena itu, penulis hanya bermaksud beberapa point pemikrannya saja yang berkaitan dengan filsafat.

Pertama; Rekonsiliasi Filsafat dan Agama
Usaha al-Kindi yang cukup penting dalam upaya mengembangkan filsafat salah satunya adalah melakukan upaya rekonsiliasi antara filsafat dan agama. Menurutnya, kita harus menerima kebenaran dari mana sumbernya, sebab tidak pada tempatnya kita malu mengakui kebenaran meskipun keluar dari sumber yang justru dalam pandangan umum masyarakat tidak benar. Orang-orang yang mencintai kebenaran tidak ada yang lebih penting dari kebenaran itu sendiri, bukan tempat di mana kebenaran itu muncul.

Ilustrasi di atas dilakukan oleh al-Kindi sebagai sekian cara untuk bisa memasukkan pemikiran filsafat ke dalam dunia Islam sehingga menjadi bagian dari ragam ilmu pengetahuan yang halal dipelajari. Usaha yang ia lakukan cukup menarik dan bijaksana. Ia mulai membicarakan kebenaran yang sesuai dengan anjuran agama yang mengajarkan bahwa kita wajib menerima kebenaran dengan sepenuh hati tanpa mempersoalkan sumbernya.

Kemudian usaha berikutnya ia masuk pada persoalan pokok, yakni filsafat. Ia berpendapat bahwa kebenaran yang dihasilkan melalui kegiatan filsafat tidak bertentangan dengan kebenaran yang dibawa para nabi (Zar, 2004)

Sesuai dengan paparan di atas, al-Kindi dengan usaha perpaduannya antara filsafat dan agama telah berhasil membuka pintu ilmu pengetahuan folosofis dalam dunia Islam sehingga mampu menciptakan hubungan yang harmonis antara akal dan wahyu.

Setidaknya, perpaduan antara filsafat dan agama menurut al-Kindi dapat didasarkan pada tiga hal berikut ini:
1.  Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat;
2.  Wahyu yang diturunkan kepada para nabi dan rasul dengan kebanaran filsafat saling bersesuaian;
3.  Menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.

Kedua; Konsep Teologis Filsafat al-Kindi
Pandangan al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran Islam dan bertentangan dengan pendapat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Allah adalah wujud yang hakiki, bukan berasal dari ketiadaan untuk kemudian ada. Ia mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan ada selamanya.

Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. WujudNya tidak berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan oleh wujudNya. Ia adalah Maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada dzat lain yang menyamaiNya dalam segala aspek. Ia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan.

Secara umum, tujuan utama filsafat Islam adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan meyakinkan tentang Allah. Hal ini telah dilakukan oleh al-Kindi, sebab Allah dalam pemhaman filsafatnya tidak lah memiliki hakikat wujud seperti benda-benda.

Karena Allah tidak mempunyai sifat-sifat fisik dan tidak pula tersusun dari materi-materi dasar (semisal atom dan unsur) yang membentuk struktur tubuh alam semesta. Bagi al-Kindi, Allah adalah unik. Ia hanya satu dan tidak ada yang setara dengaNya. Inilah yang disebut dengan filsafat pertama (Nasr dan Leaman, 2003)

Sedangkan alam, dalam perspektif al-Kindi, sebagai ciptaan Allah beredar menurut aturannya (sunnatullah), tidak kadim, dan mempunyai permulaan. Ia diciptakan Allah dari tiada menjadi ada. Hal ini jelas berbeda dari pemikiran filsafat Yunani sebelumnya yang mengatakan bahwa alam diciptakan dari meteri yang telah ada, yang dalam Islam dijadikan sebagai madzhab mu’tazilah.

Ketiga; Filsafat Jiwa
Dalam termonologi keislaman masalah jiwa menjadi masalah yang cukup pelik dan absurd karena disamping tidak ada ketegasan yang pasti dalam al-Quran dan hadits nabi, juga jiwa termasuk wjud immaterial yang sulit terjangkau oleh logika empiris. Akan tetapi, hal ini tidak menyebabkan surutnya niat ilmuan (baca: filosof) muslim untuk menyelidinya. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Plato dan Aristoteles juga beberapa filosof Yunani yang lainnya.

Salah satu filosof muslim yang memikirkan maslah jiwa adalah al-Kindi, yang dalam keyakinannya terdapat sebuah argumen bahwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Subtansinya (jauhar)-nya berasal dari subtansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan antara cahaya dam matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah dan berbeda dengan jasad atau badan (Zar, 2004).

Berdasarkan penjelasan di atas, filsafat jiwa al-Kindi bertentangan dengan konsep filsafat Aristoteles tentang jiwa yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi adalah banda dan bentuk adalah jiwa manusia. Hubungan antara jiwa dan badan sama seperti hubungan antara materi dan bentuk yang rusaknya salah satu menyebabkan kerusakan yang sama pada lainnya.

Catatan:
Tulisan ini hanya berupa serpihan-serpihan yang diramu dari beragam sumber.


Muara, Desember 2008
Previous
Next Post »