sumber: islamiclass.com |
Amat banyak keterangan yang menunjukkan bahwa
pada masa hidup Nabi Muhammad saw belum ada suatu ilmu yang secara spesifik
membahas tentang fiqih dengan segala permasalahannya. Nabi sendiri tidak
mengategorikan ajaran-ajaran Islam pada kelompok-kelompok tertentu, seperti
wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah, sebagaimana disebutkan dalam teori
hukum belakangan. Klasifikasi itu merupakan hasil kerja para fuqaha yang secara
sungguh-sungguh mempelajari ayat-ayat Al-quran, Sunnah Nabi saw, praktek para
sahabat dan kaum muslimin pada periode-periode awal.
Kata fiqih (dalam bahasa Arabnya al-fiqh)
berarti pemahaman atau pengertian. Dalam banyak tempat, Al-Quran menggunakan
kata-kata al-fiqh dalam pengertian yang umum, yaitu pemahaman. Ekspresi
Al-Quran liyatafaqqahu fi al-din (untuk masalah agama) memperlihatkan
bahwa pada masa hidup Nabi Muhammad saw, istilah fiqih belum digunakan untuk
pengertian hukum secara khusus, tetapi punya pengertian luas yang mencakup
semua dimensi agama, seperti teologi, politik, ekonomi dan hukum. Fiqih
dipahami sebagai ilmu tentang agama yang akan mengantarkan manusia pada
kebaikan dan kemulian.[1]
Pengertian ini berbeda dengan pemahaman
orang-orang sebelum Islam yang mengartikan fiqih sebagai “pemahaman” dan “ilmu”
secara umum, dan bukan pemahaman ilmu agama sebagimana dapat dipahami dari ayat-ayat Al-Quran.
Dengan kata lain, seorang akan dikatakan faqih (ahli ilmu) pada masa sebelum
Islam (jahiliah), apabila ia mempunyai ilmu yang luas. Pada masa-masaa awal
dari perekembangan Islam, istilah fiqih dipergunakan dalam pengertian ilmu
tentang agama. Bagaimana istilah itu kemudian berubah menjadi pengertian
teknikal dan spesifik?[2]
Pada priode awal kita menjumpai beberapa
istilah seperti fiqh, ‘ilm, tauhid dan hikmah yang sama-sama digunakan dalam
pengertian umum (makna meluas), tetapi kemudian berkembang dan menjadi lebih
sempit (makna menyempit), dan spesifik. Beberapa alasan dapat dikemukakan di
sini. Masyarakat Islam, selama masa hidup Nabi Muhammad saw, belum begitu
beragam dan kompleks sebagaimana terjadi kemudian.
Persoalan-persoalan yang muncul seperti
hubungan muslim dengan non muslim dan beberapa implikasi akibat perluasan
wilayah Islam, munculnya mazhab-mazhab fiqih dan sekte-sekte teologis, dan
perkembangan dinamika pemikiran
keagamaan merupakan faktor utama yang menyebabkan perubahan beberapa
peristilahan yang semula dipahami secara sederhana itu. Pelacakan tentang
peristilahan-peristilahan itu sangat urgen, namun dalam tulisan ini, penulis hanya
akan melacak terminologi fiqih sebagimana memang menjadi concern kajian
dalam artikel sederhana ini.
Perlu juga dicatat di sini bahwa pada masa-masa
awal Islam, terminologi ilmu dan fiqih sama-sama digunakan untuk suatu
pemahaman tentang Islam secara global. Ada keterangan yang menyebutkan bahwa
Nabi Muhammad SAW, pada suatu ketika mendoakan Ibnu Abbas, “Allahumma
Faqqihhu Fi Ad-Din” (ya Allah, berilah dia pemahaman tentang agama). Dari
sini tampak sekali bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menegaskan suatu pengertian
eksklusif tentang hukum, melainkan lebih sebagai suatu pemahaman yang mendalam
tentang agama secara umum.[3]
Penelitian yang cermat tentang masalah ini juga
akan mengungkapkan bahwa terminologi fiqih juga mencakup pengertian yang
asketis dalam pengungkapan tasawuf. Hal itu dapat dibuktikan dengan melihat
permulaan dari organisasi sufi yang
ditandai oleh berbagai aktifitas dari organisasai informal untuk membicarakan
masaalah-masalah agama dan melakukan latihan-latihan spiritual. Selama dua abad
pertama, tasawuf tetap merupakan fenomena individual yang spontan, tetapi
dengan berkembangnya diaiplin formal hukum Islam dan teologi, dan sejalan
dengan itu, pemunculan gradual kelas ulama, maka dengan cepat ia berkembang
menjadi suatu lembaga dengan daya tarik massa yang besar.[4]
Ada riwayat yang menguatkan asumsi ini. Suatu
ketika seorang sufi bernama Farqad (wafat tahun 131 H) berdiskusi dengan Hasan
al-Bashri (wafat tahun 110 H). Melihat gagasan Hasan al-Bashri yang terasa “asing” di tengah-engah
masyarakat, ia mengatakan bahwa para fuqaha akan menentang sikapnya itu. Tetapi
Hasan al-Bashri malah menjawab, bahwa seseorang faqih yang sebenarnya adalah
yang memandang hina kehidupan dunia, senang pada kehidupan akhirat, memiliki
ilmu yang dalam tentang agama, benar dan taat dalam beribadat, tidak meremehkan
sesama Muslim dan memperjuangkan kehidupan umat.[5]
Keterangan ini menunjukkan bahwa di samping pemahaman intelektual murni,
terminologi fiqih juga mengarah pada kedalaman dan intensitas keyakinan,
tauhid, hukum-hukum peribadatan dan ajaran Islam lainnya.
Ahmad Hasan (dalam Sirry, 1996),
mengatakan bahwa terminologi kalam (teologi) dan fiqih belum dipahami sebagai
suatu kajian yang berspektum khusus hingga pada masa pemerintahan al-Makmun
(wafat tahun 218 H). Masalah ini dapat ditelusuri sampai pada abad ke 2
Hijriyah, di mana terminologi fiqih masih mencakup persoalan-persoalan teologi,
akhlak dan hukum.[6]
Sebuah buku yang terkenal, al-Fiqh al-Akbar,
yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah (wafat tahun 150 H) adalah bukti
sejarah nyata di mana Abu Hanifah memasukkan masalah-masalah akidah, hukum dan
akhlak sebagai bagian yang dicakup oleh terminologi fiqih. Buku itupun ditulis
sebagai jawaban terhadap kepercayaan kelompok Qadariyah tentang prinsip-prinsip
dasar Islam, seperti akidah, keesaan Tuhan, kehidupan akhirat, kenabian dan
lain sebagainya. Masalah-masalah ini sebenarnya berkaitan dengan ilmu alam dan
tidak dengan ilmu hukum. Karena itulah, Abu Hanifah menamakan bukunya al-Faqh
al-Akbar, yang berarti bahwa fiqih juga mencakup masalah-masalah teologis
sebagaimana juga hukum.[7]
Untuk memberikan pemahaman yang komprehensif
tentang masalah ini dapat disebutkan di sini bahwa Abu Hanifah mendefinisikan
al-Fiqh dengan ma’rifat al-nafs ma laha wa ma ‘alaiha, (pengetahuan
seseorang tentang hak-hak dan kewajibannya).[8]
Definisi ini memberikan gambaran bahwa fiqih meliputi semua aspek kehidupan.
Dari berbagai indikasi tadi, kita dapat menyimpulkan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan fiqih melambangkan wujud pribumisasi Islam yang konseptual menuju
Islam aktual, di mana kita melihat dengan jelas benturan-benturan Islam dengan perkembangan sosial budaya
setiap umat yang membentuk karakteristik, teori, dan formula fiqih yang khas.[9]
Sebagaimana fiqh, kata ‘ilm juga
mempunyai pengertian yang luas pada periode-periode awal. Pada waktu kematian
Umar bin Khatthab (tahun 24 H), Ibnu Mas’ud berkata bahwa sembilan puluh persen
ilmu telah hilang seiring dengan kepergiannya Umar.[10]
Dan Umar, sebagaimana yang kita tahu, bukan sekedar berpengetahuan yang cukup
komprehensif tentang agama, tetapi ia juga pintar dalam ketatanegaraan.
Dengan demikian, istilah ilmu dalam perenyataan
Ibnu Mas’ud tadi, tidak dapat dijadikan indikasi sebagai bagian spesifik dari
pengetahuan, melainkan juga menunjukkan pada suatu pengertian umum. Ini juga
menguatkan kesimpulan bahwa terminologi fiqih dari pemahaman umum menjadi
penggunaan logika merupakan akibat logis dari munculnya berbagai persoalan baru
dan keharusan menggunakan rasio untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.
Pada saat yang sama, banyak orang yang berusaha
menghimpun dan menuliskan tradisi-tradisi yang diperoleh melalui cara
periwayatan. Pada saat itulah terminologi fiqih menjadi spesifik, yaitu sebagai
hasil dari penggunaan logika dan pendapat personal, sementara pengetahuan yang
diperoleh dari cara-cara periwayatan disebut ilmu. Terminologi ilmu secara umum
digunakan untuk pengetahuan tentang tradisi, seperti hadits dan atsar, di sat muncul
gerakan penghimpunan hadits atau atsar, akhir abad pertama hijriyah. Pada saat
itu pula, pengetahuan yang berpijak pada penggunaan akal dan logika dipahami
sebagai fiqih.[11]
Dari analisis di atas, dapat ditegaskan kembali
bahwa ruang lingkup terminologi fiqih secara gradual mulai menyempit, dan
akhirnya diaplikasikan secara khusus dalam masalah-masalah hukum dan
literaturnya. Demikian pula terminologi ‘ilm mulai kehilangan pengertian
umumnya dan terbatas pada hadits dan atsar saja. Perkembangan berikutnya,
terminologi fiqih tidak lagi bersifat umum melainkan khusus pada hukum-hukum
syariat yang berkaitan dengan perbuatan manusia sepanjang masa.[12]
Hal inilah yang perlu dipahami oleh semua pihak, agar fanatisme yang berlebihan
dalam persoalan hukum fiqih, sedikit mulai bisa disingkap dengan memamahi fiqih
sebagaimana awal mulanya. Wallahu A’lam!
[1]
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1996), hal. 10
[2]
Ibid. hal. 11
[3]
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Darul Hadits,
1957), hal. 73
[4]
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1996), hal. 15
[5]
Farouq Abu Zaid, Hukum Islam: Antara Tradisionalis dan Moderenis, terjemahan
H. Husein Muhammad, (Jakarta: P3M, 1986), hal. 69
[6]
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1996), hal. 18
[7]
Farouq Abu Zaid, Hukum Islam: Antara Tradisionalis dan Moderenis, terjemahan
H. Husein Muhammad, (Jakarta: P3M, 1986), hal. 72
[8]
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Darul Hadits,
1957), hal. 73
[9]
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2002),
hal. 46
[10]
Farouq Abu Zaid, Hukum Islam: Antara Tradisionalis dan Moderenis, terjemahan
H. Husein Muhammad, (Jakarta: P3M, 1986), hal. 74
[11]
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1996), hal. 15
[12]
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2002),
hal. 46
EmoticonEmoticon