Matahari Tertinggi: Terjemahan Ilmu Tauhid (2)

sumber: https://www.kampustauhid.org/

صفات الله ليست عين ذات   #   ولا غيرا سواه ذا انفصال

Artinya:
Menurut ahlussunnah wal jama’ah, sifat-siafat Allah SWT, seperti qudrah (kuasa), iradah (kehendak), ilm (tahu), hayat (hidup), sama’ (mendengar), bashar (melihat) dan kalam (berkata), bukanlah dzat Allah SWT tapi bukan pula susuatu yang lain, yang terpisah dari dzat.

Keterangan:
Sifat merupakan sesuatu  yang menunjukkan sebuah makna yang lebih atas dzat. Dalam bait ini, Kiai Nadhim bersebarangan (bahkan menolak) terhadap dua kelompok teologi dalam Islam.

Pertama; Mu’tazilah
Kelompok ini mengatakan bahwa sifat-sifat Allah SWT adalah dzatNya sendiri. Artinya, dengan melihat dari sisi yang diketahui, maka Allah SWT disebut sebagai ‘Alim (Yang Maha Tahu), dengan menilik dari sisi yang dikuasai, maka Allah SWT disebut sebagai qadir (Yang Maha Kuasa). Mu’tazilah menolak adanya semua sifat ma’ani yang tujuh.[1]

Alasan yang dikemukakan, kalau sifat Allah SWT bukanlah dzat Allah SWT, maka akan terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya yang qadim). Artinya, yang kekal bukan hanya Allah SWT saja, tetapi juga sifat-sifatNya. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep kesesaan Allah SWT yang menjadi salah satu dari lima pilar ajaran mu’tazilah. [2]

Kedua; Karramiyah
Kelompok ini berpendapat bahwa sifat-sifat Allah SWT adalah sesuatu  yang lain, yang dapat terpisah dari dzat Allah SWT. Hal ini jelas bertentangan dengan paham ahlussunnah wal jama’ah, sebagaimana disampaikan oleh Kiai Nadhim. Seperti contoh, angka 10, yang terdiri dari bilang 1 dan 0. Jelas, 1 bukanlah 10, tapi juga bukan bagian lain yang terpisah dari angka 10. Comtoh ini hanya sekedar mempermudah pemahaman, karena Allah SWT Maha Suci dari segala percontohan.

صفات الذات والأفعال طرا   #   قديمات مصونات الزوال

Artinya:
Semua sifat-sifat Allah SWT, baik sifat dzat seperti qudrah (kuasa) maupun sifat al’alNya seperti mencipta, menghidupkan, mematikan dan sejenisnya, adalah qadim (dahulu atau adanya tanpa permulaan) dan kekal (tidak rusak dan tidak berubah-berubah).

Keterangan:
Sifat dzat adalah sifat-sifat yang menjadi rujukan perbuatan Allah SWT atas segala sesuatu, seperti sifat ilmu (mengetahui), qudrah (kuasa), iradah (berkehendak), hayat (hidup), dan sifat-sifat yang menjauhkan Allah SWT dari segala kekurangan, seperti sifat sama’ (mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara) dan baqa’ (kekal).

Sifat af’al adalah sifat-sifat yang berhubungan dengan perbuatan Allah SWT, seperti mencipta, menghidupkan, mematikan, meniadakan, memberi rizki dan sesamanya. Terdapat sedikit perbedaan antara kelompok al-maturidiyah (pengikut Imam al-Maturidi) dan asya’irah (pengikut Imam al-Asy’ari), tentang sifat af’al ini.

Menurut kelompok al-maturidiyah, sebagaimana ini juga menjadi madzhab Kiai Nadhim, sifat af’al juga qadim sebagaimana sifat dzat. Sebab menurut mereka, sifat-sifat ma’ani ada delapan, selain yang tujuh yang sudah disebutkan sebelumnya, yaitu sifat takwin (mencipta/mengadakan). Pada dasarnya, sifat takwin ini hanya satu, namun menjadi bermacam-macam dengan melihat beragam ta’alluq (relasi/hubungan) dari sifat tersebut.

Seperti contoh, apabila sifat takwin ini berhubungan dengan menghidupkan sesuatu, maka disebut ihya’. Bilamana berhubungan dengan pekerjaan mematikan disebut dengan imatah, begitu juga bila berbuhungan dengan perbuatan mencipta sesuatu disebut dengan ijad, dan seterusnya.

Jadi, Allah SWT melakukan segala perbuatannya, mencipta dan meniadakan sesuatu, dengan sifat takwin, dengan segala variabelnya. Karena sifat af’al menjadi dzat (subtansi) dari sifat takwin, maka sifat af’al menjadi qadim juga.

Sedangkan menurut kelompok asya’irah, sifat af’al adalah hadits (baharu).[3]  Sebab sifat takwin termasuk ta’alluq dari sifat qudrah, dan semua yang menjadi ta’alluq dari sifat qudrah adalah hadits. Perbuatan Allah SWT yang berkenaan dengan mengadakan dan meniadakan sesuatu, dilakukan dengan sifat qudrah. Sebab, bilamana Allah SWT berbuat dengan sifat takwin, maka hal ini dapat meniadakan faidah sifat qudrah.

Menurut al-maturidiyah, sifat qudrah hanya menyiapkan sesuatu yang mungkin untuk dibuat ada, setelah tidak ada. Sedangkan sifat takwin adalah mengadakan sesuatu yang mungkin tersebut dengan satu perbuatan. Artinya, perbuatan mengadakan itu yang disebut dengan takwin. Sedangkan menurut asya’irah, sesuatu yang mungkin, bisa saja dibuat ada tanpa adanya sesuatu yang menjadikan ia bisa dibuat ada.

نسمي الله شيئا لا كاالأشيا   #   وذاتا عن جهات الست خالي
Artinya:
Menurut ahlussunnah wal jama’ah, kita boleh mengatakan Allah SWT sebagai sesuatu dan atau dzat, tapi berbeda dengan sesuatu dan dzat yang selainNya. [4] Dzat Allah SWT adalah wajib al-wujud (wajib adanya), sedangkan dzat yang selainNya hanya mumkin al-wujud (mungkin ada dan mungkin tidak ada). Selain itu, dzat Allah SWT berada diluar lingkaran arah yang enam, yaitu barat-timur, utara-selatan, atas-bawah, ataupun depan-belakang, kanan-kiri, atas-bawah.

Keterangan:
Kita semua tidak boleh memikirkan dzat Allah SWT, dan hanya boleh, bahkan dianjurkan, untuk selalu memikirkan ciptaanNya yang bertebaran di alam semesta, di langit dan di bumi. Memikirkan dzat Allah SWT, terkadang terjebak pada persepsi-persepdi yang tidak pantas dan salah terhadap Allah SWT. Seperti membayangkan bahwa Allah SWT berupa cahaya yang menderang, atau Allah SWT bersemayam pada sebuah kursi di atas langit.

Oleh karena itu, seorang sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, Ibnu Abbas RA, pernah berkata: “Berpikirilah kalian tentang pemberian Allah SWT, dan jangan kalian berpikir tentang Allah SWT”. Syaikh Imam al-Barawi juga berkata bahwa tidak boleh membahas tentang dzat dan sifat-sifat secara mendalam (mendetail). [5]




[1]     Meskipun Allah SWT memiliki sifat mengetahui, menurut Mu’tazilah, pengetahuan Allah SWT bukan dari sifat ‘ilmuNya, tapi dari dzatNya: ilmullahi dzatuhu (ilmu Allah adalah dzat Allah itu sendiri). Begitu seterusnya.
[2]     Perlu dipahami bahwa mu’tazilah tidak meningkari adanya sifat-sifat Allah SWT. Hanya saja menurut mereka,sifat-sifat Allah SWT itu adalah dzat Allah SWT sendiri, bukan sesuatu yang lain dari dzat.
[3]     Kata hadits (baharu) di sini adalah lawan atau kebalikan dari qadim (dahulu).
[4]     Dalam ilmu fisika, dzat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang menempati ruang dan memiliki massa. Tentu definisi ini hanya berlaku di luar dzat Allah SWT, bahkan cahaya, meskipun dalam kajian tauhid atau teologi dikatakan dzat, tapi dalam ilmu fisika bukan dzat.
[5]     Akal yang terbatas, tidak mungkin mampu membahas Allah SWT yang tidak terbatas. Bahkan ma’rifat kepada Allah SWT sejalan dengan kebodohan kita kepadaNya. Semakin kita bodoh dan bingung, semakin kita berma’rifat kepadaNya.
Previous
Next Post »