Perkembangan Fiqih pada Masa Sahabat

sumber: http://www.islamaktual.net/

Pendahuluan
Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat Islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa awal perkembangan agama Islam. Secara esensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri.[1] Karena semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW.

Maka seketika itu, segala permasalahan langsung bisa teratasi, dengan bersumber pada Al-Qur’an dan as-sunnah sebagai sebagai sandaran utama. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istimbat.

Periode sahabat dikenal sebagai periode tafsir dan takmil (penjelasan dan penyempurnaan) yang berlangsung selama 90 tahun kurang lebihnya, yaitu terhitung mulai kewafatan Rasulullah pada tahun 11 H sampai dengan akhir abad pertama Hijriah (101 H atau 632-720 M).[2]

Pada masa ini daerah kekuasaan Islam sudah semakin meluas, meliputi beberapa daerah di luar semenanjung Arabia, seperti Mesir, Syria, Iran (Persia) dan Iraq.[3] Dan bersamaan dengan itu pula, agama Islam berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan daerah tersebut, ditambah lagi dengan banyaknya penduduk setempat yang masuk Islam dengan karakteristik, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda sehingga semakin menambah ragamnya persoalan baru yang muncul dan menuntut formula perumusan hukum baru.

Perkembangan Fiqih pada Masa Sahabat
Pasca wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat dihadapkan langsung dengan perbedaan dan perpecahan umat, perbedaan pertama yang terjadi adalah yang berhubungan dengan masalah akidah, yaitu tentang wafatnya Rasulullah SAW. Ada sebagian kalangan sahabat yang tidak mengakui wafatnya Rasulullah SAW, namun perpecahan ini segera diselesaikan oleh Abu Bakar dengan membacakan firman Allah, surat az-Zumar ayat 30.[4]

Kemudian Abu Bakar mengucapkan sepotong perkataan yang begitu masyhur: “Siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah mati, dan siapa yang menyembah Tuhan Muhammad, maka Dia itu hidup dan tidak akan pernah mati”. Perkataan Abu Bakar RA ini mampu meredam perpecahan yang terjadi saat itu.

Perpecahan umat tidak berhenti sampai di situ, dalam sisi hukum juga terjadi perbedaan yang sangat kuat di kalangan sahabat, yaitu dengan munculnya perbedaan sahabat dalam menyikapi masalah siapa yang berhak menggantikan Rasulullah SAW sebagai khalifah dan mereka juga bersilang pendapat dalam menyikapi timbulnya golongan orang-orang yang enggan membayar zakat dan golongan orang-orang yang murtad.

Perbedaan-perbedaan ini terus terjadi di kalangan sahabat meski dalam skala yang masih kecil. Sebenarnya perbedaan di antara sahabat sudah mulai ada sejak masa Rasulullah SAW masih hidup, akan tetapi keberadaan Rasulullah SAW bisa menjadikan perbedaan di antara para sahabat tidak begitu terasa. Di zaman Rasulullah SAW telah dikenal juga bahwa Umar bin Khattab, Abdullah bin Abbas dan Mu’adz bin Jabal  merupakan tipikal orang-orang yang cenderung logis, sementara Abdullah bin Umar dan Zaid bin Tsabit adalah orang yang cenderung kuat berpegang dengan teks, atau Abu Hurairah yang lebih cenderung sufistik.[5]

Ketika Rasulullah saw wafat sementara para sahabat dihadapkan kepada beberapa permasalahan-permasalahan baru yang butuh solusi cepat. Maka embrio-embrio kecenderungan masing-masing sahabat terpancing keluar dengan sendirinya dalam kadar yang lebih besar dari sebelumnya.
     
Selanjutnya perluasan (futuhat) Islam terjadi besar-besaran terutama di masa kekhalifahan Umar bin Khattab.[6] Perluasan ini menuntut penyebaran sahabat ke beberapa daerah baru untuk memberikan fatwa dan pengajaran tentang Islam yang benar dan sekaligus menjadi qadhi/hakim yang memutuskan perkara-perkara yang terjadi di daerah-daerah baru tersebut.

Perbedaan kondisi tiap daerah menyebabkan lahirnya perbedaan masalah yang timbul, kemudian perbedaan masalah ini yang dicoba diantisipasi oleh setiap sahabat di daerah mereka masing-masing. Dengan bekal ilmu yang ditinggalkan Rasulullah SAW, ditambah keragaman kecenderungan di atas, melahirkan perbedaan sikap di antara para sahabat tersebut.

Namun masih untung di waktu itu, perbedaan terjadi antar individu tanpa adanya sikap fatik terhadap satu orang sahabat dan baru terjadi di dalam lingkup yang belum terlalu luas, apalagi mereka semua masih orang Arab tulen.

Dalam koridor cara berfatwa, para sahabat tersebut mengerucut menjadi dua golongan, satu golongan yang cenderung menggunakan logika dalam mengolah sumber asli, al-Qura’an dan Sunnah, sehingga mereka banyak mengeluarkan fatwa, dan satu golongan lagi cenderung berhati-hati sekali dalam membaca teks yang ada dan sangat memegang teguh teks-teks tersebut, bahkan ada yang mencela penggunaan logika dalam berfatwa, kondisi ini menyebabkan mereka tidak terlalu suka mengeluarkan fatwa-fatwa. Inilah embrio munculnya dua aliran besar dalam perkembangan fiqh dan ijtihad di beberapa dekade berikutnya.

Secara eksplisit, Sya’ban Muhammad Ismail (dalam Mubarok, 2000), mengutarakan dua faktor penting pembentuk dua aliran besar fiqh tersebut: pertama, kondisi dan lingkungan daerah; kedua, metodologi faqih (ahli fiqh) itu sendiri dalam membahas dan menetapkankan hukum.[7]

Kedua faktor inilah yang memberikan warna khusus bagi hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh masing-masing sahabat, yang klimaksnya membentuk watak daerah tempat fatwa tersebut lahir. Namun semua watak dan warna itu mengerucut kepada dua aliran besar, Madrasah al-Hadits (aliran tekstual) dan Madrasah ar-Ra’yi (aliran kontekstual/logika).

Madrasah al-Hadits berkembang dan berpusat di daerah Hijaz, khususnya Madinah dan menjadikan para sahabat di Madinah sebagai rujukan. Sementara Madrasah ar-Ra’yi berpusat di Iraq, khususnya Kufah, dan menjadikan para sahabat di Iraq sebagai rujukan mereka, terutama Abdullah ibnu Mas’ud.[8]

Meskipun demikian, sebenarnya ada beberapa orang dari daerah-daerah tersebut yang tidak sepakat dengan corak yang ada di daerah mereka, seperti Rabiah ar-Ra’yi di Madinah yang cenderung kepada aliran Ra’yi, dan Imam Ibnu Sirin dan ats-Tsauri di Kufah yang menentang Madrasah ar-Ra’yi[9].

Metode Penetapan Hukum Sahabat
Sesuai paparan sebelumnya, bahwa perkembangan fiqih pada masa sahabat dan terus berlanjut sampai tabi’en, terpolarisasi menjadi dua aliran, maka metode penetapan hukum juga tidak bisa bisa dipisahkan dari latar belakang kedua aliran tersebut.

Metode Penetapan Hukum Madrasah al-Hadits
Sebagaimana terdahulu bahwa aliran ini terkonsentrasi di Madinah yang merupakan tempat asal sunnah dan tempat berkumpulnya para ulama, karena merekalah orang-orang yang paling dekat dan paling mengenal Hadits Rasulullah SAW waktu itu. Diantara pembesar golongan ini dari kalangan sahabat adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar dan Siti ‘Aisyah.[10]

Aliran ini tidak hanya berkembang di Hijaz, tapi juga meluas ke daerah-daerah Syam, Mesir bahkan Iraq sendiri. Diantara ulama-ulama terkenal yang tergolong terlahir dari aliran ini adalah Amir asy-Sya’bi (tabi’in Kufah), Imam Sufyan ats-Tsauri (tabi’ tabi’in dan ulama Kufah), Imam al-Auza’i (ulama Syam), Yazid bin Habib (ulama Mesir pertama yang mengajak masyarakat Mesir untuk mencurahkan perhatian kepada Hadits), Imam Sa’id ibnu al-Musayyib, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Dawud azh-Zhahiri.[11]

Secara umum fuqaha’ aliran ini yang berdiam di Hijaz berpatokan dan berpegang kuat terhadap teks-teks yang ada, karena mereka memang memiliki teks-teks hadits yang banyak. Dan mereka sangat enggan memakai logika, karena sedikit sekali permasalahan-permasalahan baru yang timbul di kalangan mereka, hal ini disebabkan juga oleh kesamaan kondisi dan lingkungan yang mereka hadapi dengan kondisi masa Rasulullah SAW.

Sedangkan fuqaha’ mereka yang berada di luar Hijaz lebih ketat lagi dan bahkan menganggap memakai logika sama artinya menggunakan hawa nafsu dalam menetapkan hukum dan mereka menganggap hal tersebut memasukkan sesuatu yang tidak pantas ke dalam agama Allah ini.[12]

Secara terperinci, jika mereka dihadapkan kepada suatu masalah, langkah pertama yang mereka ambil adalah mencari solusinya di al-Qur’an dan Sunnah, jika mereka mendapatkan pertentangan di antara beberapa hadits mereka mengadakan kualifikasi dan penilaian terhadap perawi hadits. Jika tidak ditemukan di dalam smaka mereka beralih keatsar para sahabat. Jika tidak juga ada jawaban baru mereka menggunakan logika atau berhenti dahulu sampai mendapatkan jawaban (tawaqquf). Oleh karena itu, ulama-lama kalangan ini tidak suka mempertanyakan sesuatu yang belum terjadi (iftiradh)[13].

Metode Penetapan Hukum Madrasah ar-Ra’yi
Aliran ini berpusat di Kufah (Iraq) yang juga banyak melahirkan ulama-ulama umat Islam, sehingga bisa disejajarkan dengan Madinah, hanya saja Madinah lebih duluan dikenal sebagai pusat keilmuan.

Secara umum aliran ini memiliki mainstream bahwa hukum syari’at telah sempurna sebelum wafatnya Rasulullah SAW. Syari’at bisa diterima akal logika dan syari’at terangkum ke dalam beberapa kaidah/standart dan memiliki ‘ilat (sebab/alasan) hukum yang baku.[14]

Dengan demikian, para fuqaha’ aliran ini berusaha mencari ‘ilat hukum-hukum yang sudah ada dan kemudian menjadikannya patokan dalam menetapkan hukum dalam masalah baru sesuai dengan ada atau tidaknya ‘ílat yang sama di masalah baru tersebut. Inilah yang kemudian dikenal dalam sebuah kaidah hukum Islam “al-hukmu yaduru ma’a al-illah wujudan wa ‘adaman”.

Ciri khusus lain aliran ini adalah para fuqaha’nya tidak takut dalam berfatwa bahkan dalam memperkirakan hal-hal yang belum terjadi (iftiradh)[15]. Namun meskipun demikian mereka sangat ketat dalam menerima hadits, karena takut terhadap masuknya hadits palsu yang banyak beredar kala itu.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita bagaimana proses awal pembentukan mazhab fiqh itu dimulai dari dua aliran besar yang berakar dari para sahabat Rasulullah SAW.

Sumber Hukum Pada Masa Sahabat
Berdasarkan uraian sebelumnya, secara tersirat dapat dipahami bahwa sumber hukum Islam (fiqih) pada masa sahabat adalah:

Pertama; Al-Quran
Pada periode sahabat ini ada usaha yang positif, yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf datang dari Umar bin Khattab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini disampaikan oleh Umar kepada khalifah Abu Bakar, yang pada mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada akhirnya Abu Bakar menerima ide yang baik dari Umar ini.

Maka beliau menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit binatang, tulang-tulang dan yang dihafal oleh para sahabat. Mushaf ini disimpan pada Abu Bakar, seterusnya masa Umar dan kemudian setelah Umar meninggal disimpan pada Hafshah binti Umar.

Pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam mushaf yang ada pada Hafshah kemudian menugaskan lagi kepada Zaid bin Tsabit untuk memperbanyak dan membagikannya ke daerah-daerah Islam, yaitu ke Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah dan Damaskus. Mushaf itulah yang sampai kepada kita sekarang[16].

Ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi meninggal telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar belum disatukan. Nabi selalu minta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan hadist, agar tidak bercampur baur antar keduanya. Disamping itu, Al-Qur’an banyak dihafal oleh para sahabat. Bahkan banyak sahabat yang hafal keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga Al-Quran selalu menjadi sumber hukum utama yang terus berlangsung sampai sekarang.

Kedua; Al-Hadits
Adapun hadist pada masa ini belum terkumpul dalam satu kitab, akibat tidak tertulisnya dan tidak terkumpulnya hadist dalam satu mushaf pada permulaan Islam. Maka ulama-ulama dapa periode selanjutnya harus meneliti keadaan perawi hadist dari berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian hadist serta muncul Ilmu Musthalah Hadist[17]. Akibat lain adalah timbulnya perbedaan pendapat karena berbeda dalam menanggapi satu hadist tertentu.

Akan tetapi, hadits tetap menjadi rujukan penetapan hukum para sahabat setelah al-Quran. Hal ini tidak terlalu sulit meskipun hadits belum terbukukan karena masih banyaknya para sahabat yang hafal hadits dan menyebarkannya pada yang lain (tabi’en).

Ketiga; Ijma’
Para sahabat, terutama al-khulafa ar-rasyidun, dalam menghadapi suatu masalah, bahkan  berbagai masalah, mereka lebih dahulu mencari nashnya dari Al Quran atau Sunnah, kalau mereka tidak menemukan dalam Al Quran dan Sunnah mereka mengadakan pertemuan dengan fuqoha sahabat untuk meminta pendapat mereka. Apabila mereka telah sepakati suatu pendapat, maka mereka menetapkan pendapat itu sebagai suatu keputusan. Inilah yang disebut ijma’.[18]

Keempat; Qiyas
Salah cara yang dilakukan para sahabat dalam menetapkan hukum adalah dengan memahami alasan atau illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyas.[19]

Jadi, apabila mereka tidak mendapatkan keterangan  dalam nash-nash al-Quran hadits dan Ijma’, barulah mereka berijtihad dengan mempergunakan qiyas, sambil tetap memperhatikan ruh (jiwa) syari’at dan memperhatikan kemashlahatan umat. Wallahu A’lam!

(Tulisan ini diambil dari berbagai sumber)

Muara, Juni 2008



[1] Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 21
[2] Muhammad Abu Zahroh, Mukhadaroh fi al-Tarikh Al-Madzahib al-Fiqhiyah, (Beirut: Jam’iyat adidirasat al-islamiyah, tt), hal. 47
[3] A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 69
[4] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 52
[5] Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 62
[6] HM. Rasjidi, Hukum Islam dan Pelaksanaannya Dalam Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hal. 58
[7] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 74
[8] Manna’ al-Qattan, Al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam: Tārikhan wa Minhājan, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1989), hal. 79
[9] . Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 86
[10] Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 91
[11] HM. Rasjidi, Hukum Islam dan Pelaksanaannya Dalam Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hal. 70
[12] Manna’ al-Qattan, Al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam: Tārikhan wa Minhājan, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1989), hal. 89
[13] Nurcholish Madjid (ed.),  Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),      hal. 36
[14] Manna’ al-Qattan, Al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam: Tārikhan wa Minhājan, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1989), hal. 103
[15] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 84
[16] HM. Rasjidi, Hukum Islam dan Pelaksanaannya Dalam Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hal. 78
[17] A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 107
[18] Nurcholish Madjid (ed.),  Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),      hal. 68
[19] HM. Rasjidi, Hukum Islam dan Pelaksanaannya Dalam Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hal. 95
Previous
Next Post »