Mengenal Kehidupan Masyarakat Arab Jahiliyah

sumber: http://inthehistoryoftheearth.blogspot.co.id/

Latar Belakang
Munculnya Islam sebagai agama terakhir yang dibawa nabi Muhammad tidak terlepas dari berbagai peristiwa sosial yang melingkupi masyarakat pada waktu itu (Nasri: 1991). Agama sebagai salah satu kontrol dan kitab sosial tidak bisa melepaskan diri dari fenomena masyarakatnya yang selalu melahirkan penyimpangan-penyimpangan yang merugikan masyarakat itu sendiri.

Berdasarkan asumsi di atas, klaim jahiliyah terhadap kehidupan masyarakat Arab pra Islam merupakan sebab utama yang melatarbelakangi lahirnya agama Islam dengan segala ajarannya. Fenomina sosial masyarakat arab waktu itu memang telah berada dalam jalur kesesatan yang nyata.

Jarang ditemukan di antara mereka yang setia dan memegang teguh agama tauhid yang dibawa nabi sebelumnya. Berbagai penyimpangan dalam masalah agama sangat fundamental bahkan ditentang dengan sangat beringas dalam menolak ajaran-ajaran Islam yang dianggapnya adalah agama sesat dan hanya tipu daya Muhammad saja.

Dari sisi ini, agama Islam hadir di tengah-tengah mereka untuk membuktikan dan menyatakan kebenaran Tuhan yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Dapat dikata, cemburu sosial masyarakat jahiliyah menjadi unjung tombak atau awal diterimanya agama Islam sebagai agama yang membawa keselamatan di dunia maupun akhirat.

Lebih khusus, masyarakat jahiliyah yang hidup sebelum Islam bukan hanya mengalami kesesatan di bidang agama. Mereka juga berada dalam kegelepan politik yang hanya mementingkan kemenangan dan kesenangan kelompok semata. Tanpa memikirkan nasisib orang lain, terutama mereka yang tak punya kekuasaan.

Selain itu, konsepsi sosial budaya juga tidak lepas berbagai persoalan yang rentan akan timbulnya diskriminasi dan aneka warna ketidakadilan. Budaya hanya ditentukan oleh kelompok dominan yang harus dipatuhi oleh semua masyarakat yang tak punya akses dalam pembinaan kehidupan sosial.

Masyarakat Pra Islam: Analisis Agama
Kehidupan bangsa Arab pra Islam adalah sebuah potret hitam kehidupan yang jauh dari nilai-nilai humanistik, apalagi religi sehingga sangat tepat apabila mendapat julukan "masyarakat jahiliyah". Bukti atas klaim di atas, salah satunya, dapat ditinjau dari model agama yang mereka kembangkan pada masa itu.

Agama yang berkembang dan menjadi panutan mayoritas masyarakat jahiliyah bbbbhhhhn adalah agama polytisme yang melibatkan banyak Tuhan (untuk tidak menyebutkan multi dewa), sehingga memunculkan berbagai kesesatan dalam aplikasi ibadahnya. Agama model ini merupakan jalan sesat yang jauh berada di simpang jalan agama-agama samawi yang pernah ada sebelumnya- seperti agama yang dibawa oleh nabi Isa AS atau nabi-nabi lain yang pernah muncul dalam kronologi sejarah umat manusia.

Persoalan yang paling krusial adalah munculnya kalaim kebenaran sepihak yang dipaksakan oleh kelompok dominan terhadap kaum lemah. Agama seolah menkjadi doktrin buta yang harus diterima oleh seluruh masayarakat Arab pra Islam tanpa terkecuali.

Lebih jauh, kebenaran agama ditentukan oleh pihak yang menempati strata sosial tertinggi dan harus diikuti oleh kelompok sosial di bawahnya dengan keharusan tunduk secara total. Tanpa boleh melontarkan satu pertanyaan pun atas nama menjaga kehormatan warisan nenek moyang yang sudah bertahun-tahun menjadi panutan hudup.

Secara sepintas, menurut Hasymi (1986), model keagamaan yang dikembangkan masyarakat pra Islam lebih menitik beratkan pada ketundukan terhadap sistem sosial yang dibentuk, bukan pada Tuhan itu sendiri. Sebab, mereka tidak memiliki kitab yang pasti sebagai dasar dan landasan formal dalam menjalankan ajaran-ajaran syariat agama yang mereka anut dan banggakan itu. Hal ini dibuktikan dengan kalaim kebenaran tunggal yang dikeluarkan oleh otokrasi agama yang menyempitkan proses keagamaan itu sendiri.

Pola agama semacam itu merupakan satu ancaman besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan (humanis) yang justru menjadi perhatian penting semua agama-agama, baik besar maupun kecil, yang pernah ada di dunia. Sebab agama tercipta adalah untuk kebaikan kepentingan manusia ( lebih tepatnya: kemaslahatan manusia secara umum), bukan untuk kepentingan Tuhan, apalagi kelompok sosial tertentu. Dari sini, dapat dipahami bahwa kondisi keagamaan masyarakat Arab pra Islam memang berada dalam kerangka kegelapan yang nyata dan tak dapat diragukan lagi.

Masyarakat Arab Pra Islam: Analisis Politik
Politik praktis yang dijalankan warga Arab pada masa sebelum Islam  datang sangat berbau ( bahkan memang sengaja dibuat atau dibentuk ) paternalistik, yang sering kali  menimbulakan tindakan-tindakan anarkis dan diskriminasi yang tak kunjung padam. Tak jauh beda dengan model kepercayaan yang berkembang, sistem poltik yang dibangun juga tidak terlepas dari praktik dominasi yang acap kali menempatkan masyarakat bawah pada level yang tidak manusiawi dan pada kenyataan yang sebenarnya, memadamkan aspirasi masyarakat bawah yang sama-sama punya hak setara dalam proses menjalin kelompok sosial sebagai media dasar sebuah politik.

Solidaritas sosial yang mengakumodasi segala kemaslahatan kelompok tidak pernah teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi diganti dengan solidaritas keluarga yang terkotak-kotak dalam klen-klen yang lebih dikenal dengan sebutan kabilah dan atau bani (Badri: 1993).

Dari segmentasi sosial politik ini, akan muncul pertarungan dalam mencari, memepertahankan dan merebut kekuasaan dengan cara menyebar pengaruh dan paksaan-paksaan yang sangat rentan akan timbulnya perpecahan dan kekacauan sosial. Sehingga pertarungan dalam dunia politik semakin ramai meskpiun dalam skala yang kecil.

Fenomina tersebut, secara nyata menjadi bibit-bibit konflik sosial yang tak selalu menemukan jalan keluar yang memuaskan seluruh pihak (kelompok). Sementara, seperti yang sudah diketengahkan tadi, masyarakat Arab pra Islam secara politik di bagi dalam segmentasi yang cukup beragam.

Nuansa politik seperti ini merupakan basis dari sebuah sistem sosial yang tidak punya pijakan jelas dalam berpolitik, atau lebih tepatnya tidak ada hukum sosial yang dapat dijadikan kerangka berpolitik bersama dan dapat menjadi wadah aspirasi yang bisa mewakili semua kepentingan yang ada. Meskipun kenyataan ini sangat sulit sekali, tetapi minimal punya kesepakatan-kesepakatan tertentu yang dapat mendekatkan ke arah terciptanya kerangka politik yang sejahtera.       

Cita-cita ideal ini selalu menjadi agenda terdepan dan fundasi awal sebuah kerangka politik setiap negara terlebih bagi mereka yang menganut paham demokrasi, sebagai bentuk pemerintahan yang diyakini paling adil dan terbaik dari segala konsep negara yang ada.

Bagi bangsa Arab pra Islam, berpolitik sama dengan kegiatan mencari keuntungan kabilah (baca: kelompok) tanpa harus mempertimbangkan kepentingan-kepentingan kabilah (kelompok) lain yang juga punya kepentingan yang sama. Solidaritas kelompok sangat kuat sehingga mampu mengebiri kebijakan sosial lain yang lebih populis dan manusiawi.

Pandangan-pandangan sempit atau pemikiran politik pragmatis adalah ciri khas masyarakat Arab pra Islam yang dewasa ini, dalam kasus-kasus tertentu, juga muncul dalam dinamika politik kontemporer masyarakat kita, di mana kesejahteraan kelompok menjadi acuan tersembunyi tiap paratai politik meskipun harus mengorbankan kepentingan negara (baca: rakyat banyak). Dan ini merupakan awal dari proses kehancuran yang tersembunyi dan ancaman terbesar yang harus diperangi oleh semua pihak yang memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan negara sejahtera.

Masyarakat Arab Pra Islam: Analisis Sosial Budaya
Stratifikasi sosial masyarakat Arab pra Islam, sesuai pandangan Ali (1997), merupakan struktur vertikal sosial yang rentan terhadap ketidakadilan dan berbagai potensi negatif lainnya, seperti penindasan dan perlakuan kasar terhadap kelas-kelas sosial di tingkat bawah. Sistem sosial yang terbentuk hanya berpihak pada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi, yang dominan dan berpengaruh luas.

Sementara di sisi lain, sistem ini sangat menyesakkan dada bagi para kelompok proletar yang dalam tataran tertentu terjebak dalam mekanisme soaial yang anti toleransi. Kerancuan sistem sosial budaya yang ada pada saat itu dapat dipahami dari dua masalah berikut ini :

Pertama, budaya (sistem) perbudakan
Sudah jamak diketahui bahwa budaya perbudakan muncul dari dinamika sosial budaya masyarakat Arab para Islam, yang lazim disebut masyarakat jahiliyah, di mana harga diri sebagai manusia merdeka dalam masalah ini sangat disingkirkan dan sama sekali tidak mendapatkan apresiatif yang sewajarnya. Mereka memperlakukan manusia setingkat dengan binatang yang sama sekali tidak diperkenankan menentukan jalannya sendiri. Sehingga ini semakin memperjelas bahwa struktur sosial yang dibangun benar-benar jauh dari nilai-nilai keadilan, kesejahteraan dan sejenisnya.

Masalah perbudakan merupakan bias kebudayaan yang sengaja dikontruksi oleh kelompok dominan (ingat, kelompok dominan yang penulis maksudkan di  sini bukan berarti kelompok mayoritas), untuk menyokong dan semakin menguatkan kedudukan mereka dalam ststus dan strata sosial yang disandangnya. Sehingga sistem perbudakan menjadi ajang komoditi budaya yang tak pernah lepas, apalagi lenyap, dari dinamika sosial masyarakat Arab pra Islam yang berlangsung secara aklamasi pada saat itu.

Kedua, diskriminasi kaum perempuan
Posisi kaum perempuan dalam masyarakat jahiliyah hanya berkutat dalam strata yang rendah, bahkan sering dikonotasikan sebagai pembawa aib dan merendahlan martabat keluarga. Fungsi perempuan yang hanya ditempatkan di arena tripel R: sumur, dapur dan kasur, sudah menjadi aturan baku yang tak bisa dibantah oleh keuatan apapun.

Budaya diskriminatif terhadap kaum perempuan ini sering menggiring perempuan pada berbagai persoalan yang sangat tragis, seperti penguburan hidup-hidup bayi perempuan karena dianggap merendahkan martabat keluarga sebagaimana yang penulis sampaikan di atas.   

Konsepsi budaya yang seharusnya menempatkan manusia, terlepas dari segala bentuk perbedaan jenis kelamin, dalam konteks yang sejajar dan menebarkan kesamaan yang lintas batas ternyata memiliki arti yang terbalik dalam fenomena masayarakat Arab pra Islam.

Perbedaan jenis kelamin yang dipandang sebagai  gejala horisontal (masuk dalam kategori deferensiasi sosial ), sehingga tidak berpengaruh pada tinggi rendahnya derajad kelompok tertentu, disuburdinasikan dalam persepsi kelompok dominan yang lebih memihak pada kaum laki-laki. Sehingga peran perempuan sangat kecil dan terus dikebiri dalam upaya membangun tatanan sosial yang adil, stabil dan kondusif.

Hal lain yang perlu dicatat, selain dari dua persoalan di atas, adalah munculnya stratifikasi sosial yang berlandaskan konsepsi keturunan sehingga secara tidak langsung mencipta sistem kasta yang sangat tertutup terhadap terjadinya mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal. Hal ini jelas merampas hak-hak kelas bawah dalam memperbaiki nasib dirinya, dan untuk mobilisasi pada kelas yang ada di atasnya.

Demikian sekedar gambaran singkat kehidupan masyarakat Arab jahiliyah yang sangat jauh dari nilai-nilai kemanuisaan dan ketuhanan. Wallahu A’lam!


Muara, Juli 2008
Previous
Next Post »