Selayang Pandang tentang Ahlussunnah wal Jama'ah

sumber: muslimedianews.com
Pendahuluan
Sebutan ahli sunnah wal jama'ah sebagai nama sebuah aliran yang muncul dalam gelora sejarah perkembangan Islam sering dirujukkan kepada dua tokoh pemikir tradisional dalam bidang ilmu kalam: Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Eksistensi mereka sebagai pemikir tangguh dalam ilmu kalam senantiasa dijadikan referensi akurat, khusus dalam setiap doktrin-doktrin teologis. Stigma ini sesuai dengan apa yang telah diketengahkan oleh Az-Zubaidi (dalam Manshur, 2000) bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.

Akan tetapi, persoalan yang muncul ke permukaan adalah banyaknya aliran dalam Islam yang juga mengaku sebagai penganut paham Ahlus sunnah wal Jama'ah. Sehingga konsep ideologi ahlus sunnah wal jama'ah seolah-olah kabur (dikaburkan) pada tataran praktisnya. Oleh karena itu, merupakan satu keniscayaan bagi siapa yang saja, khususnya generasi muda Islam, yang ingin memahami konsep otentik ahlus sunnah wal jama'ah untuk senantiasa bersiap kritis terhadap berbagai kelompok aliran yang di dalamnya juga mengusung term ahlus sunnah wal jama'ah -khusus yang dibicarakan di sini adalah bidang ilmu kalam.

Dari persoalan di atas, pegetahuan kita yang luas dan benar terhadap riwayat hidup Al-Asy'ari dan Al-Maturidi lengkap dengan berbagai pokok-pokok pemikiran mereka dalam bidang ilmu kalam merupakan satu jalan praktis yang bisa mengantarkan kita pada konsep ahlus sunnah wal jama'ah. Sehingga kita tidak akan terjebak dalam berbagai ildeologi imitasi yang secara harfiah sama dengan ahlus sunnah wal jama'ah, akan tetapi sangat bertolak belakang dalam ruang i'tikad dan amaliahnya. Maka dari itu, sekali lagi ingin penulis tegaskan, bahwa mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan dinamika hidup dan pemikiran Al-Asy'ari dan Al-Maturidi merupakan langkah pasti untuk sampai pada konsep akurat ahlus sunnah wal jama'ah yang dewasa ini kerap mendapatkan tantangan dari berbagai arah.

Sekilas Pandang Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah
Ahlus Sunnah wal Jama'ah secara harfiah, dapat diklasifikasikan makna pemahamannya sebagai berikut: ahlus sunnah berarti orang yang berpegang teguh pada kebiasaan Nabi, sedang kata jama'ah maknanya mengacu pada kehidupan sahabat (al-khulafa ar-rasyidun). Jadi, ditarik secara bahasa, ahlus sunnah wal jama'ah adalah paham yang senantiasa berpegang teguh pada ajaran dan kebiasaan Nabi bersama para sahabatnya (Yusuf: 1990).      

Sementara dalam pengertian praktis yang khusus ahlus sunnah yang dimotori oleh Al-Asy'ari dan Al-Maturidi merupakan lawan dari kelompok mu'tazilah (Musa, 1975:15) dan aliran-aliran yang serupa dengannya. Sedangkan menurut pegertian para ulama yang sering jadi rujukan oleh orang-orang NU adalah kegiatan bermadzhab kepada Abu Hanifah, Imam Malik, Syafi'i dan Hambali dalam bidang fikih, dan kepada Al-Gazali dan Al-Junaid dalam bidan akhlak, sedang dalam bidang teologi berpegang kepada Al-Asy'ari dan Al-Maturidi (dan pembahasan penulis di sini khusus dalam bidang ilmu kalam).

Pengertian atau konsep di atas telah cukup jelas mengantarkan kita pada pemahaman yang otentik terhadap paham ahlus sunnah wal jama'ah yang, kalau ditarik secara inhern, mengisyaratkan bahwa pola keberagaman (Islam) harus didasarkan pada madzhab-madzhab yang berlangsung secara mutawatir. Tidak boleh bermadzhab sendiri dengan langsung merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah, kecuali bagi seorang mujtahid.
Riwayat Singkat Al-Asy'ari dan Al-Maturidi.
1.  Riwayat Singkat AL-Asy'ari
Nama lengkap Al-Asy'ari adalah Abu Al-hasan Ali bin Isma'il bin Ishaq bin Salim bin Isma'il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al- Asy'ari. Menurut beberapa riwayat Al-Asy'ari lahir di Basrhah pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M (Badawi, 1984:497).

Menurut Ibnu Asakir, Ayah al-Asy'ari adalah seorang yang berpaham ahli sunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy'ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariyah bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy'ari. Ibu Al-Asy'ari, sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh mu'tazilah yang bernama Abu Ali Al-jubba'I (w. 303 H/915 M), ayah kandung Abu hasyim Al-Jubbai (w. 321 H/932 M), berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy'ari kemudian mejadi tokoh mu'tazilah. Ia sering menggantikan Al-Jubbai dalam perdebatan menentang lawan-lawan mu'tazilah (Amin, 1965:65). Selain itu, banyak menulis buku yang membela alirannya. Hal ini merupakan satu indikasi bahwa Al-Asy'ari adalah seorang pemikir mu'tazilah yang tangguh.

Setelah bertahun-tahun menganut paham mu'tazilah, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan paham mu'tazilah (Hanafi, 1992:104). Menurut Ibnu Asakir, yang melatar belakangi Al-Asy'ari meniggalkan paham mu'tazilah adalah pengakuan Al-Asy'ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw pada malam ke 10, ke 20, dan ke 30 bulan Ramadlan. Dalam mimpinya Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan paham mu'tazilah dan membela paham yang telah diriwayatkan dari beliau.

2.  Riwayat Singkat Al-Maturidi
Abu Manshur Al-Maturidi dislahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Transoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang di sebut Uzbekistan. Tahun kelahirannnya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke 3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 33 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nashir bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 Hijriyah (Al-Maraghi dalam Rozak dan Anwar, 2007). Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M.

Karir pendidikan al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara'. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis. Akan tetapi bermacam-macam karya yang dihasilkan oleh Al-maturidi begitu sulit ditemukan, berbeda dengan kitab-kitab yang ditulis oleh Al-Asy'ari.

Doktrin-doktrin Teologis Al-Asy'ari dan Al-Maturidi
1.  Doktrin-doktrin Teologis Al-Asy'ari
     a. Tuhan dan Sifat-sifatNya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy'ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Quran dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiyahnya.

Di lain pihak, ia berhadapan dengan kelompok mu'tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensinya. Adapun tangan, kaki, teinga Allah atau Arasy atau kursy tidak boleh diartikan secara harfiyah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.

Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy'ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidakboleh diartikan secara harfiyah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy'ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi menyangkut ralitas (haqiqah) tidak terpisah dari esensinya. Dengan demikian tidak berbeda dengannya.

     b.  Akal dan Wahyu
Dalam pandangan Al-Asy'ari akal hanya bisa mampu mengetahui tentang Tuhan tapi tidak bisa mengetahui tentang baik-buruk dan hal lain di luar itu. Pengetahuan manusia tentang baik buruk, termasuk di dalamnya kewajiban mengetahui Tuhan dan Kewajiban mengetahui baik-buruk, hanya dapat diperoleh melalui wahyu. Oleh karena itu, akal harus ditundukkan pada wahyu, tidak seperti pandirian kelompok mu'tazilah yang begitu memberikan ruang bebas pada akal.

     c. Kebebasan Perbuatan Manusia
Al-Asy'ari memiliki doktrin tegas dalam hal ini. Allah menciptakan segala bentuk perbuatan manusia, baik dan buruk, akan tetapi manusia diberi kemampuan untuk memilih (kasb) dan menentukan berbagai kualitas perbuatan yang telah disediakan oleh Allah. Maka dari itu, Allah sebagai Khaliq telah menciptakan perbuatan manusia, dan manusia sebagai muktasib harus menentukan pilihannya.

2.  Doktrin-doktrin Teologis Al-Maturidi
     a. Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dan Akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy'ari namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan oleh Al-Asy'ari (Rozak dan Anwar, 2007).

Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dam keimananya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk/ciptaanNya.

Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namaun akal menurut Al-maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya (Rozak dan Anwar:2007)

     b. Sifat Tuhan
Al-Maturidi, dalam konsep tentang sifat-sifat Tuhan sangat bertolak belakang dengan doktrin teologis mu'tazilah.  Dalam pandangan mu'tazilah, sifat Tuhan sama dengan zatnya. Artinya, sifat-sifat Tuhan tidak lain adalah zat Tuhan itu sendiri. Pandangan ini ditolak oleh Al-maturidi (juga oleh Al-Asy'ari), bahwa sifat-sifat Tuhan bukanlah zat Tuhan, tapi bukan sesuatu yang laian yang berada di luar zat. Sifat-sifat Tuhan adalah sesuatu yang inhern (mulzamah) dengan zat Tuhan itu sendiri. Jadi sifat-sifat Tuhan qadim sesuai dengan zatnya yang qadim.

     c. Perbuatan Manusia
Sebagaimana Al-Asy'ari, Abu Manshur Al-Maturidi juga berpandangan bahwa perbuatan manusia telah diciptakan oleh Allah, sedangkan manusia hanya punya kemamuan (diberi kebebasan) untuk memilih (ikhtiyar). Jadi, kebebasan yang ada pada manusia bukanlah karena kemampuan manusia itu sendiri, tapi merupakan anugerah Allah yang digunakan sesuai dengan perintahNya.
Previous
Next Post »