Memahami Nasikh Mansukh dalam Al-Quran dan Implikasi Hukumnya

sumber: al-badar.net
Pendahuluan
Islam sebagai salah satu agama semitis muncul di muka bumi tidak terlepas dari kondisi sosisal mayarakat arab (khususnya) pra Islam yang telah menjauh dari karantina hukum-hukum Allah yang diturunkan pada nabi sebelumnya. Oleh karena itu, hadirnya Islam sebagai sebuah agama baru diharapkan dapat memberikan pencerahan dengan kitab al-Qurannya yang harus diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pedoman hukum. Kehidupan sosial adalah kehidupan yang serba kompleks dan cenderung bermasalah, dari itu memerlukan seperangkat nilai dan norma yang dikemas dalam bentuk hukum sosial yang mampu melahirkan kemaslahatan umum.

Berdasarkan pemikiran di atas, pendekatan dan pemahaman terhadap al-Quran sebagai sumbur hukum, bahkan sumber ilmu pengetahuan dan kreativitas, sangat diperlukan untuk pengembangan kondisi sosial yang kondusif, maju dan bermoral. Sebab sampai sekarang, keberadaan al-Quran tetap tak tersaingi oleh terori ilmiah apapun sehingga semakin mempertebal keyakinan bahwa al-Quran merupkan benar-benar kitab suci yang berisi firman-firman Tuhan.

Dan salah satu metode yang bisa dilakukan dalam upaya memahami al-Quran adalah memahami nasikh mansukh. Persoalan nasikh mansukh, terlepas dari segala bentuk kontraversi, sangat diperlukan dalam mengambil sebuah hukum yang tertera dalam al-Quran. Sebab hukum bukanlah sesuatu yang lahir seperti batu, saklek, diam tak berubah.

Akan tetapi, hukum senantiasa elastis dan bergerak dinamis menuju kemaslahatan umum sesuai dengan perkembangan dan realitas ruang dan waktu. Maka dalam kaitannya pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dihindari adanya nasikh mansukh terhadap beberapa hukum yang turun lebih dulu dan diganti dengan hukum yang datang kemudian. Sangat tepat apa yang dikemukan oleh Imam As-Suyuti (tt) bahwa seseorang tidak akan dapat menafsirkan al-Quran dengan baik tanpa mengetahui ilmu nasikh mansukh.

Pengertian Nasikh Mansukh
Memahami ilmu nasikh mansukh dalam al-Quran harus dilihat dari dua sisi yang saling mendukung:                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                

Pertama, secara etimologi               
Ada perbedaan versi dalam kalangan ulama mengenai makna nasakh ditinjau dari sisi bahasa (etimologi). Sebagian mereka berpendapat bahwa nasakh merupakan bentuk mutaradif (sinonim) dari الإزلة yang berarti menghilangkan atau meniadakan. Hal sesuai dengan perkataan orang arab :
نسخت الشمش الظل
Artinya : Matahari telah menghilangkan bayangan itu
           
Selain hal tersebut, kata النسخ juga diasumsikan memiliki arti yang sama dengan lafadz النقل yang berarti menyalin atau memindahkan. Dan pendapat ini juga didasari oleh perkataan sebagian orang-orang Arab:
نسخت الكتاب إذا نقلت ما فيه مع بقاء الأصل على هيئته من غير تغيير

Bahkan, sebagian ulama juga berpendapat bahwa nasakh semakna dengan dengan lafadz التبديل yang berarti mengganti atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Pendapat ini dilandaskan pada salah atau ayat yang terdapat dalam al-Quran:
وإذا بدلنا أية مكان أية
            Artinya: Dan jika kami gantikan sebuah ayat dengan ayat yang lain…… (QS. An-Nahl: 101)

Berbagai perbedaan pandangan para ulama dalam melihat makna nasakh secara etimologi hanya berpengaruh pada sisi tesktualnya saja, karena ini dilatar belakangi oleh berbagai sumber rujukan yang berbeda. Sebenarnya, masih banyak lagi perbedaan pendapat ulama yang tidak kami masukkan dalam karya tulis ini karena, dengan pertimbangan penulis, bukanlah sesuatu yang penting untuk dipaparkan dan sekaligus agar tidak memperpanjang penjelasan.

Kedua, secara terminologi
Para ulama merumuskan pengertian nasakh menurut istilah adalah:
رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شراحيا عنه
Artinya: Mengangkat sukum syara' dengan dalil hukum syara' yang lain sebagai penjelasan dari padanya (hukum syara' yang dihapus).

Sebuah hukum yang telah diturunkan lebih awal dapat dihapus fungsi hukumnya dan diganti dengan hukum baru yang datang kemudian. Dan hukum yang datang belakangan ini yang dijadikan sandaran baru karena di dalamnya terdapat penjelasan yang lebih maslahah dari hukum yang ada sebelumnya. Seperti kasus dalam al-Quran tentang masalah wasiat. Pada mulanya, Allah berfirman :
كتب عليكم إذا حضر احد كم الموت إن ترك خيران االوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين 

Bagi setiap orang yang akan meninggal dunia, bila mereka memiliki harta pusaka, maka harus berwasiat kepada orang tua dan kerabat dekatnya yang lain  dengan ketentuan bahwa harta yang akan diwasiatkan itu tidak lebih dari sepertiga dari harta yang dia miliki. Akan tetapi hukum wasiat ini dimansukh (dicabut kuasa hukumnya) dengan firman Allah yang lain yang berupa perintah untuk membagi harta memalui sistem waris:

            يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين ( النساء : 11 )

Dalam firman tersebut, Allah memerintahkan agar membagi harta orang yang meninggal kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam al-Quran. Dan ini memiliki dampak lebih maslahah dari pada wasiat, karena lebih menjamin fungsi harta sesuai proporsi yang ada dan tidak bisa saling bersaing untuk mendapatkan jatah yang lebih banyak, sebab persentase pembaigan harta waris sudah menjadi ketetapan hukum yang harus dipatuhi. Jadi, dua anak lelaki tetap akan mendapatkan porsi yang sama meskipun satu di antra mereka menjadi anak yang peling disenangi, sementara yang lain tidak.

Macam-macam Nasikh mansukh dan Syarat-syaratnya
Proses nasihk mansukh dalam al-Quran bukan sebuah proses sederhana, akan tetapi meliputi bermacam-macam bagian yang dilengkapi dengan syarat-sayarat tertentu sehingga tidak ada penafsiran sembarang yang kadang bertentangan dengan nilai otentik al-Quran itu sendiri.

Macam-macam Nasikh Mansukh
Dalam kitab al-Qaul al-Munir fi Ilmi Ushuli at-Tafsir, Syekh Ismail Usman Zain al-Yamani (tt), menerangkan bahwa nasikh mansukh dalam al-Quran ada tiga macam.
1. Pemansukhan Hukum
Ayat yang dimansukh adalah fungsi hukmunya sedangkan bacaannya tetap ada dalam al-Quran (tidak dihapus). Seperti contoh yang telah disebutkan di atas.
2. Pemansukhan Tilawah ( bacaan )
Dalam bagian ini, ayat yang dimansukh hanyalah bacaannya saja, sedangkan hukumnya masih tetap berlaku. Seperti firman Allah :
الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجمواهما ألبتة نكالا من الله والله عزيز حكيم ( الأحزاب )
3. Pemnasukhan Hukum dan Tilawahnya
Dalam versi ini, semua hukum dan bacaan dari ayat tersebut dimansukh dan diganti dengan ayat baru. Seperti keterangan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, tentang firman Allah :
عشر رضعات معلومات يحرمن
Lalu diganti dengan ayat:
بخمس رضعات معلومات يحرمن
           


Syarat-syarat Nasikh Mansukh
Dalam melakukan nasikh manskuh harus menetapi beberapa persyaratan seperti yang akan dipaparkan di bawah ini:
1. Yang dimansukh hukum syara'
Ayat-ayat dalam al-Quran yang dapat dimansukh hanya yang menyangkut masalah hukum syara'. Sedangkan masalah aqidah, akhlak dan dasar-dasar ibadah atau muamalah tidak bisa dimansukh.
2. Menggunakan dalil yang baru
Sudah jamak diketahui bahwa al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur sesuai latar belakang soial masyarakat pada waktu itu, yang kemudian hal ini disebut dengan asbabun nuzul, meskipun tidak semua ayat memiliki asbabun nusul. Jadi, ayat yang digunakan dalam memansukh harus ayat yang datang paling akhir, sebab tidak mungkin ayat yang datang lebih dulu memansukh ayat yang datang kemudian. Meskpiun dalam susunan penulisan mushabnya, ayat yang memansukh kadang disebut lebih dulu dari ayat yang dimanskuh.
3. Tidak terikat dengan waktu tertentu.
Dalam al-Quran tidak semua ayat yang berlaku umum, dalam artian terikat dengan konteks lokal saat al-Qurabn itu turun. Sebab dalam al-Quran, ada sebagian ayat yang dimensi hukum praktisnya dilingkupi oleh waktu dan ruang tertentu tertentu, sehingga tidak bisa untuk dirusak atau diganti implikasi hukumnya dengan ayat yang lain.

Perbedaan Nasakh dan Takhsis
Selain dari nnasikh mansukh yang telah diuraikan sejak awal tulisan ini, dalam upaya memahami ayat-ayat al-Quran juga dikenal istilah "Takhsis". Secara sederhana, takhsis merupakan pembatasan hukum al-Quran yang sebelum itu berlaku secara umum. Jadi lebih mengarah pada pengecilan wilayah hukum yang terdapat dalam sebuah firman Allah. Dan ini memiliki sisi perbedaan dengan nasikh mansukh, di antaranya adalah :
1.      Tahsis hanya membatasi hukum suatu ayat, sementara nasakh mengganti fungsi hukum dari ayat yang dimansukh.
2.      Takhsis bila dilakukan dengan dalil naqli atau aqli, sedangkan nasakh harus dengan dalil naqli (al-quran atau hadits)
3.      Takhsis  hanya masuk pada dalil 'am, sedangkan nasakh bisa masuk pada dalil 'am atau klhas.
4.      Takhsis hanya masuk pada bidang hukum saja, sementara nasakh bisa masuk pada hukum dan berita-berita dusta.

Perbedaan Ulama dalam Masalah Nasikh mansukh
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah nasikh mansukh dalam al-Quran. Menutut Abu Musllim Al-Asfihani dkk (dalam Shihab: 2001), al-Quran merupakan syariat yang muhkam tidak ada mansukh. Akan tetapi dalam al-Quran hanya terdapat tahksis. Karena al-Quran datang dari Allah maka jelas tidak ada kekeliruan sehingga diperlukan adanya nasikh mansukh. Hal ini sesuai firmanNya:
لا يأتيه الباطل من بين يديه ومن خلفه تنزيل من حكيم حميد
Artinya: Tidak datang kepadanya kebatilan al-Quran baik dari depan atau belakang yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.

Selain dalil al-Quran tersebut mereka juga berlandaskan pada logika bahwa adanya nasikh mansukh mempunyai arti bahwa Allah tidak mengetahui kejadian yang akan datang sehingga perlu melakukan penggantian terhadap hukum yang telah ditetapkannya. Dan jika itu benar, berarti Allah telah melakukan kesiasiaan dan permainan belaka. Maha Suci Allah dari segala yang demikian adanya.

Akan tetapi, di lain pihak, seperti yang dikatakan oleh Imam Fakhrurazi dan didukung oleh mayoritas kaum mukminin bahwa nasikh mansukh memang ada dalam al-Quran dan itu didapat melalui akal dan riwayat. Pendapat ini juga didasari firman Allah:

ما ننسخ من أية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها
Artinya: Jika kami ganti satu ayat menempati ayat yang lain, kami menggantinya dengan yang lebih baik atau setidaknya sama.

Dan kelompok ini juga didukung dengan landasan pemikiran bahwa perbuatan Allah itu mengikuti kemaslahatan dan menghindari kemudlaratan. Jika Allah menyuruh pasti di dalamnya ada kemaslahatan dan jika melarang pasti di dalamnya ada kemudlaratan. Dan kemaslahatan ini dapat berubah-rubah sesuai dengan perubahan masa.

Allah adalah Tuhan Yang Maha Perkasa sehingga tidak ada satu kekuatanpun yang bisa menyaingi Allah, oleh karena itu, apa yang akan Allah lakukan adalah atas kehendaknya sendiri karena Dialah yang berkuasa. Maka tidak heran bila Allah menetapkan hukum kemudian menggantinya dengan hukum yang lain. Dan Allah bisa berbuat secara mutlak. Dia bisa menyuruh berbuat sesuatu dalam satu waktu, lalu melarangnya dalam waktu yang lain.

Hikmah Nasikh Mansukh al-Quran: Sebuah Renungan
Perubahan merupakan sunnatullah. Tak ada sesuatu yang abadi (bertahan lama) di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Dan perubahan ini mencakup ke seluruh segmen sosial budaya, termasuk didalamnya dalah hukum. Dalam          al-Quran sudah jelas, bahwa ayat-ayat yang menetapkan satu hukum bisa saja diganti dengan ayat-ayat yang baru dengan membawa hukum yang baru pula. Ini berarti perubahan hukum merupakan suatu yang niscaya. Allah saja merubah firmanNya sendiri, apalagi kita yang banyak melakukan kesalahan dalam mengambil sebuah keputusan. Maka perubahan merupakan bagian yang tak bisa dielakkan lagi.


Dalam kasus ini, hukum bukan kerangka bertindak yang serba jumud, saklek, statis dan mutlak adanya. Hukum bisa saja berubah sesuai dengan latar belakang sosial yang mengiringinya. Sekalipun perubahan hukum tidak serta merta bebas terkepas dari dasar-dasar utamanya; al-Quran, hadits, ijma' dan qiyas. Dan ini menjadi tugas kita semua untuk selalu melakukan perubahan dan pembaharuan hukum sebagaimana juga terdapat dalm al-Quran melalui metode nasikh mansukhnya. Wallahu A'lam bis Shawab!.


Ares Tengah, Februari 2009
Previous
Next Post »