Secuil Filsafat Kenabian Al-Farabi

sumber: cekricek.co.id

Pendahuluan
Pemikiran filsafat masuk ke dunia Islam dimulai dengan adanya penerjemahan besar-besaran buku-buku Yunani pada masa Abbasiyah di bawah khalifah Al-Makmun dan batul hikmahnya. Walaupun sebenarnya sejak masih masa khalifah Harun Ar-Rasyid kegiatan keilmuan semacam ini sudah mulai dirintis, dengan mengirim beberapa umat Islam untuk belajar ilmu kdokeran, falak, geografi dan lainnya ke Athena. Akan tetapi, puncak gairah keilmuan umat Islam, termasuk filsafat, terasa semakin memuncak pada masa Al-Makmun.

Salah satu tokoh filsuf paling besar yang muncul dalam sejarah perekembangan Islam adalah Al-farabi. Wilayah pemikiran filsafatnya begitu luas sehingga tidak salah kalau banyak orang yang mengatakan bahwa al-Farabi adalah Bapak Filsafat Islam. Ia lahir di kota Farab, Proinsi Transoxiana, Turkestan pada tahun 257 H dalam lingkungan keluarga yang bangsawan militer Turki (Fakhry, 1987).

Al-Farabi sebagai tokoh filsafat memiliki peran penting dalam rangka mengembangkan konsep keilmuan Islam yang luas, tidak hanya terpaku pada teks. Dan di bawah ini akan diulas satu sumbangan al-Farabi yang sangat berharga terhadap ajaran Islam yang berkaitan erat dengan eksistensi nai dan wahyu dalam masyarakat.

Teori Kenabian Al-Farabi
Fitsafat kenabian Al-Farabi diarahkan sebagai penolakan terhadap doktrin kelompok naturalis yang tidak mempercayai wahyu dan kenabian. Menurut mereka akal manusia sudah memiliki potensi yang sempurna untuk menuntun pemiliknya ke arah yang baik, sehingga tidak perlu adanya nabi dan wahyu yang juga berfungsi sebagai petunjuk.

Pemikiran rasional menjadi kerangka pokok doktrin filsafat yang dikembangkan oleh Ar-Razi, seorang filsuf Muslim sebelum al-Farabi. Dan mendapatkan kedudukan tinggi di tengah-tengah kelompk muktazilah karena aliran ini memang dikenal dengan kelompok rasionalis, meskipun tidak seekstrim pemikiran ar-Razi. Kelompk muktazilah hanya berpandangan bahwa akal manusia dapat mengetahui ukuran baik-buruk sesuatu tanpa bantuan nabi atau wahyu, bukan berarti tidak percaya nabi dan wahyu.

Akan tetapi, menurut al-Farabi, nabi dapat mengetahui hakikat-hakikat karena ia dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh yang merupakan akal terakhir dalam rangkaian proses emanasi. Dalam paham al-Farabi, akal kesepuluh ini dapat dinamakan malaikat. Kesanggupan berkomunikasi dengan akal kesepuluh inilah yang memungkinkan para nabi dan rasul dapat menerima wahyu (Syarif, 1993).

Filsafat kenabian al-Farabi terkait erat dengan ajarannya tentang hierarki daya-daya jiwa manusia yang terbagi dalam lima tahap:

Pertama, Tahap Pertumbuhan
Sebagaimana ciri umum sebagai makhluk hidup yang selalu mengalami pertumbuhan, begitu juga dengan manusia yang juga mengalami hal yang sama, baik fisik maupun psikisnya. Al-Farabi memiliki kesamaan pandangan dengan Plato bahwa jiwa manusia berasal dari dunia akali (Tuhan) dan akan kembali kepadanya.

Oleh karena itu, kondisi kesucian jiwa haris senantiasa dipelihara ketika jiwa bersatu dengan jasad. Karena poroses interaksi jiwa dan materi dalam tubuh manusia inila yang disebut sebagai pertumbuhan jiwa yang dapat menentukan perjalanannya ke depan.

Kedua, Tahap Penginderaan
Jiwa penginderaan merupakan salah satu alat pengetahuan paling gamblang yang dimiliki oleh semua manusia. Pada awalnya, manusia tahu melalui proses penginderaan ini. Kita tahu ada burung terbang di angkasa karena kita melihat burung itu. Kita tahu bahwa bunga mawar harum karena kita menciumnya. Dan kita tahu bahwa kopi ini manis karena kita meminumnya. Semua itu adalah kegiatan penginderaan yang biasa dilakukan oleh setiap manusia dengan lingkungan eksternalnya.

Ketiga, Tahap Bernafsu
Dalam tahapan ini, jiwa manusia memiliki daya untuk suka atau tidak suka pada seuatu. Oleh karenanya, jiwa ini harus dikendalikan dengan benar agar tidak terjebak pada kesukaan terhadap hal-hal material saja dan melupkan hal-hal spiritual. Sebab kesukaan jiwa yang berlebihan pada hal-hal material (duniawi) akan menyebabkan jiwa tersesat di alam materi sehingga tidak bisa menemukan jalan untuk pulang ke dunia akali, sebagai tempat asalnya.

Keempat, Tahap Menghayal
Daya jiwa ini menungkinkan manusia untuk tetap memperoleh kesan dari hal-hal yang dirasakan setelah objek tersebut lenyap dari jangkauan indara. Misalnya kita melihat mobil baru melintas di hadapan, maka meskipun mobil itu telah jauh meninggalkan kita tapi bayangan mobil tersebut tersimpan dalam memori otak kita dengan adanya daya hayal ini.

Bahkan kadang, daya hayal ini mampu mengesankan satu wujud abstrak yang sama sekali berbeda (bahkan mungkin tidak ada) dengan dunia eksternal yang diamati indera (Mustafa, 1997). Hal ini yang terjadi pada Thomas Alpha Edison saat pertama kali menghayalkan tentang alat penerang (lampu) yang sebelumnya belum pernah ada di dunia.

Kelima, Tahap Berpikir
Daya ini memungkinkan manuisa memahami berbagai pengertian sehingga dapat membedakan yang mulia dari yang hina serta untuk menguasai seni dan ilmu. Daya berpikir manusia setidaknya, digolongkan dalam dua kategori, praktis dan teoritis.

Kemampuan berfikir praktis adalah suatu yang dimanfaatkan untuk membedakan sedemikian rupa satu sama lain sehingga kita dapat menciptakannya atau mengubahnya dari satu kodisi ke kondisi  lainnya. Apa yang menjadi persoalannya adalah masalah keterampilan-keterampilan, misalnya, pertukangan, pertanian, kedokteran, navigasi (pelayaran).

Sedangkan daya pikir teoritis berkaitan dengan bentuk-bentuk objek intelektual atau yang biasa disebut al-Farabi dengan istilah ma’qulat. Objek daya pikir teoritis sama sekali bersifat universal, imateril yang sama sekali bebas dari materi dan ikatan materi. Wallahu A’lam!



Muara, Juni 2008
Previous
Next Post »